KESAKSIAN JANUARIO DE CARVALHO
Saya dan teman-teman Apodeti
saya, yang ditahan di Dili
di bangunan museum, dipindahkan
dari sana, dimana kami
dikurung sejak bulan
Oktober ke penjara-penjara markas
umum di Taibesse, pada tanggal
2 Desember 1975. Kami
bergabung dengan para
tawanan UDT, Kota
dan Trabalhista
yang sudah di sana sejak
bulan Agustus dan September 1975.
Dengan kelompok besar kami sel
menjadi penuh sesak, dalam
keadaan seperti ini kami tidak
bisa bergerak dan kami
tidur berdiri karena ruangnya tidak
cukup untuk bahkan
untuk mendapatkan posisi duduk. Biasanya
di pagi hari
para penangkap kami
membuka gerbang besi
untuk memungkinkan
kami memasuki emperan kecil
berpagar kawat kasa
dan bagian atasnya
ditutup kawat berduri.
Para penjaga
Fretilin yang diperlengkapi dengan senjata mesin (submachine)
berada di luar
mengawasi gerakan-gerakan kami.
Pembagian makanan juga berlangsung di emperan tersebut, dan sebagaimana biasanya itu dengan suatu
porsi yang sedikit
sekali. Minggu-minggu sebelumnya,
para tokoh Fretilin
sudah menghentikan semua kunjungan
ke penjara- penjara
dan rumahsakit-rumahsakit,
dimana banyak teman kami
diopname karena luka-luka
berat akibat siksaan- siksaan
yang kami terima. Dengan
penghentian kunjungan- kunjungan, sanak keluarga dan teman-teman kami
tidak dapat membawakan makanan, sebagaimana sebelumnya,
untuk kami.
Meskipun kami mendengar banyak spekulasi dari pengawal
yang selalu mengancam kami
namun kami tidak
yakin dengan
keselamatan kami. Dalam
inkognito (samaran) ini kami
dipertahankan hingga tanggal 7 Desember
1975. Satu pagi
dini hari kami
mendengar letusan-letusan keras senjata-senjata berat dan rentetan-rentetan
senapan mesin yang tiada henti. Meskipun kami tidak tahu apa
yang sedang berlangsung di Dili, namun hati kami mengatakan, pasukan- pasukan
kami sudah tiba di Dili dan konsekuensinya kebebasan kami sudah pasti.
Sekitar pukul 8
pagi orang-orang Fretilin
yang meninggalkan
lembah-lembah kota, berkonsentrasi dalam kelompok-kelompok sekitar Taibessi hingga
Rumahsakit untuk menahan laju pasukan-pasukan kami. Di Markas
Umum Taibessi Milisia
Fretilin berjumlah ratusan. Orang-orang
Fretilin melipatgandakan
pengawasan terhadap para tawanan.
Sepan- jang
pagi, gelombang-gelombang berkesinambungan orang- orang Fretilin keluar masuk dari kam Militer
Taibessi.
Sekitar pukul 2 sore, kami mulai melihat
kesalahpahaman
dan kekacauan diantara
orang-orang Fretilin. Diantara teriakan-teriakan histeris perintah
dan larangan, orang-orang
Fretilin mondar-mandir kebingungan
seperti orang
gila, di tengah-tengah
teriakan dan tembakan
di semua arah, kemudian lari dari markas;
lain-lainnya berada dalam
posisi siap tempur sekitar markas. Semua
ini bisa kami
lihat melalui jendela-jendela berkisi sel-sel kami. Beberapa
penjaga yang ingin menyerah mengatakan
kepada kami
bahwa beberapa pemimpin
mereka sudah lari
ke perbukitan.
Para pemimpin lainnya, khususnya
orang-orang eks-militer, masih berada di Dili, berusaha untuk mengor- ganisir pertahanan. Namun sebelum mereka bisa
melakukannya orang-orang mereka sudah lari seperti anjing
melolong dan berteriak
ketakutan. Diantara para pemimpin mereka
hanya satu
yang dapat menenangkan orang-orang
yang ketakutan. Dialah
Nicolau Lobato, yang menenangkan
orang-orangnya yang
sok, mengajak mereka ke penjara,
dan memerintahkan pintu-pintu
dibuka dan memerintahkan
kami berbaris. Setelah
berbaris dia berkata kepada kami
"Apakah anda ingin mati sekarang dengan
"berondongan" atau bekerja sama dengan kami?"
Banyak diantara kami, dengan
harapan bahwa suatu kesempatan
mungkin muncul untuk lari,
menjawab kepada Nicolau bahwa kami menerima kerjasama. Salah
satu saudara si pemimpin, Antonio Lobato nampak di tempat
itu, matanya penuh
dengan kebencian. Dia
bertugas sebagai Polisi Militer.
Diperlengkapi dengan sebuah senjata
automatic G-3, dia mengisi senjata tersebut dan berkata
dengan suara lantang
bahwa dia akan membunuh
kami; namun saudaranya Nicolau
melompat menghalanginya dan merebut senjata tersebut serta membawanya pergi, dan
memperingatkannya.
Setelah insiden yang bisa
mengancam jiwa kami ini, kami dibawa ke beberapa tempat di Markas
tersebut, dimana mereka mendistribusikan kotak-kotak amunisi
dan kontainer "persenjataan" lainnya. Dua orang dipaksa untuk
membawa sebuah kotak amunisi yang beratnya mencapai 60
pound.
Setelah distribusi kami dibariskan dua-dua
dengan seorang
Fretilin di tengah dan banyak yang
berada di sekeliling
mengawasi kami. Kami melalui
jalan setapak berbaris
menuju jalan Dili-Aileu, terus
berjalan dengan bentakan-bentakan agar
berjalan lebih cepat
sementara keadaan
kami semakin melemah karena
membawa beban yang demikian
berat. Dalam kondisi yang
sangat lelah kami sampai
di perkebunan kopi Costa Alves di Balibar, 10 mil jauhnya
dari Dili sekitar 400 meter di
atas permukaan laut.
Catatan: Sebagai informasi untuk
para pembaca yang tidak
mengenal kawasan tersebut, jalan penghubung antara Dili-Aileu terus mendaki hanya sedikit turunan
dan sekali- sekali
mendatar, yang berdebu
selama musim kemarau, berlumpur
dan licin selama musim penghujan,
yang bisa melintasi
jalan tersebut hanya mobil
dobel kardan atau kendaraan
militer. Kami beristirahat
di tempat terbuka malam
itu. Karena hari sebelumnya kami
tidak makan dan lelah
sekali, kami berbaring di
tanah basah berlumpur. Kami
hanya memakai baju dan celana pendek
dan sepanjang malam kami kedinginan, berbaring di tanah
seperti anjing.
Kami
hampir tidak bisa mengatupkan mulut untuk
tidak merintih.
Berapa lama lagi kepedihan kami
akan berlangsung? Saya terbayang orang-orang yang saya
cintai. Dimana mereka
berada? Mereka pasti menganggap saya
sudah mati. Dengan
memandang sekeliling saya melihat seorang penjaga bersenjata,
saya bertanya-tanya: "Oh,
saudaraku mengapa kau
begitu membenciku? Mengapa
begitu membenciku?" Dan saya berusaha untuk memastikan, saya
menjawabnya sendiri: "Bukankah saya menginginkan kesejahteraan
negeri ini? Oh, malangnya
kami.... anda, yang mungkin
menganggap saya sebagai
teman dan saudara dalam
Tuhan, kini anda
akan membunuh
saya jika saya melakukan gerakan
yang mencurigakan".
Dan dengan berlinang air
mata saya mengalihkan pikiran
saya ke Tuhan,
berdo'a dalam hati
memohon pertolongannya untuk diri saya, untuk semua
teman saya dan untuk
orang-orang yang diperlakukan
seperti kami. Saya begitu
lelah dan jatuh kedalam
dunia impian. Pagi-pagi sekali hari berikutnya, kami diperintahkan
berjalan dalam barisan menuju Aileu.
Beberapa menit setelah kami memulai kembali
perjalanan
hari mulai hujan,
pada mulanya sedikit.
Namun setelah sekitar lima menit hujan mulai
bertambah lebat dan tiba-tiba hujan lebat turun, kami kedinginan
hingga tulang sumsum.
Di alam terbuka tanpa payung
dengan bentakan- bentakan untuk terus berjalan, sementara kami
sudah hampir tidak bisa berjalan. Sebaliknya para penjaga
kami memakai jas
hujan dan hanya membawa
senjata mereka. Berjalan mendaki
bermil-mil, diperlemah
karena lapar, perlakuan brutal
dan memikul kotak-kotak amunisi, saya sendiri dan beberapa
teman senasib lainnya
berjalan terseok-seok, terpeleset
kesana kemari. Segera setelah
kami terjauh banyak
yang berlari ke arah kami, memukul
kami dengan popoer
senjata dan menendang untuk memaksa
kami berdiri dan
terus berjalan. Dalam setiap
pukulan popor senapan para
penjaga membentak kami
dengan mengatakan: "Bangun anjing.
Apa ingin ditembak
kepalamu?". Dengan segala upaya,
kami masih bisa berdiri untuk menghindari pukulan lebih
lanjut. Terhadap kebrutalan
ini, mantan kepala pemetintahan
sipil, Pak Mario Santa, yang sudah
tua dan sakit-sakitan, tidak kuat melakukan itu, dan
jatuh setiap meter
dan dipukul setiap kali dia jatuh.
Dia meminta binatang-binatang itu
menghabisinya. Di suatu
tempat tertentu
dalam perjalanan kami tidak melihat
lagi Pak Santa.
Kami tidak pernah menjumpainya
lagi. Belakangan, kami
tahu bahwa teman kami yang malang tersebut ditembak mati oleh para penjaga Fretilin di suatu tempat
sepanjang jalan Dili-Aileu.
Tanpa berhenti untuk istirahat
dan terus berada di bawah guyuran hujan lebat, pukulan-pukulan
popor senapan, pukulan-pukulan
dan siksaan-siksaan bila
kami memohon untuk
beristirahat, membuat kami
baru mencapai Aileu sekitar pukul 3 sore. Di sana, dalam formasi
militer kami dimana
kami melepaskan beban berat
kontainer-kontainer "persenjataan". Dari sana kami kembali ke
gudang-gudang ubi,
yang berlokasi dekat
bangunan pemerintah. Basah kuyub,
kelelahan dan terhuyung-huyung kami menyeret kaki kami. Di kedua sisi jalan banyak orang sipil
dan Fretilin bersenjata
menonton iring-iring kami yang
menyedihkan. Orang-orang
berjiwa rendah ini
berteriak kepada para penangkap
kami ketika kami lewat,
bunuh, bunuh anjing- anjing
itu. Namun untunglah para penangkap
kami tidak memenuhi
permintaan publik tersebut, mungkin juga
karena mereka
lelah setelah perjalanan
yang melelahkan. Dalam bangunan
yang penuh sesak,
kurang makan dan
hanya diperbolehkan
sekali sehari buang
air besar. Kami mengambil kesempatan untuk menghilangkan rasa
haus dengan minum
air ledeng dekat toilet-toilet drum.
Ini semua berlangsung
hingga tanggal 9 Desember. Pada hari itu, pagi-pagi
sekali penjaga penjara yang
bertugas, Pedro Aquino,
yang juga disebut Komandan, masuk
ke penjara gudang dan dengan sombong dia berkata:
"Semua tawanan dari Dili keluar untuk mencatatkan namanya di
luar....", sambil tersenyum
dia menambahkan "Kami
akan mempermudah perjalanan
anda dalam kapal
hitam atau dalam
sebuah pesawat tanpa sayap".
Istilah-istilah tersebut kami
ketahui sebagai peringatan-peringatan tersembunyi bahwa kami
akan dibunuh pada suatu saat oleh orang-orang Fretilin.
Banyak diantara kami yang berasal dari Dili menjadi ketakutan,
namun saya sendiri dan puluhan lainnya punya perasaan yang
sama, kami siap menerima nasib apapun yang dilakukan oleh
orang-orang primitif tersebut. Saya sendiri menganggap
bahwa jika saya harus
mati hari itu,
itu akan menjadi
akhir dari penderitaan-penderitaan saya.
Sebelum kami berangkat,
kami titip pesan
kepada teman-teman
kami yang ada di belakang bahwa
jika mereka selamat, tolong katakan kepada sanak keluarga
kami tentang penderitaan kami dan juga katakan kepada mereka
bahwa kami akan mati dengan mengingat Tuhan dan
orang-orang yang kami cintai.
Tanpa sikap gentar dan percaya bahwa segera kami akan bersama Tuhan, kami bisa menahan air mata
kepedihan.
Di
luar penjara kami berbaris hingga berjumlah
total seratus sepuluh orang. Empat orang Fretilin
mencatat nama kami dan elemen-elemen identitas lainnya dengan
kelambatan yang
disengaja, karena kami berada di bawah
terik sinar matahari yang membakar. Orang-orang Fretilin
menyelesaikan tugas
mereka setelah dua jam lamanya. Tidak lama setelah diabsen,
kami naik ke atas dua buah
truk, yang dikawal oleh orang-orang Fretilin bersenjata. Kendaraan-kendaraan tersebut
menempuh jalan menuju
Maubisse. Sepanjang perjalanan
kami kumat-kamit berdo'a, berharap dibunuh di suatu
tempat dalam perjalanan tersebut,
namun semakin dekat ke
Maubisse kami percaya, itulah sebenarnya
tujuan kami.
Kami mencapai desa itu
setelah tengah hari,
dan sebagaimana
di Aileu orang-orang
Fretilin menggunakan gudang ubi sebagai penjara, dan di sini pintu
gerbang dan jendela-jendela juga
dicat hijau. Melihat
kecerahan warnanya, nampak bahwa itu baru saja dicat.
Di
Maubisse inilah kami bertemu saudara-saudara
kami para
tawanan dari beberapa
bagian pulau ini.
Dengan kedatangan kami isi penjara tersebut melebihi
jumlah tiga ratus orang.
Kembali ke pernyataan-pernyataan
Bapak Moniz Maia, yang tinggal di Aileu setelah keberangkatan
Bapak Januario De
Carvalho, kami mencatat berikut ini: "Pada hari
yang sama,
tanggal 9 Desember,
ketika teman-teman kami dipisahkan
untuk dibawa ke tempat yang tidak
diketahui, apa yang
kami temukan kemudian di Maubisse, orang-orang Fretilin
semakin kesulitan. Kami melihat
gerakan-gerakan luar
biasa, karena ada spekulasi bahwa
pasukan-pasukan kami
berada dalam perjalanan
ke Aileu. Orang-orang Fretilin
beberapa kali sehari berkumpul dalam
pertemuan- pertemuan
dengan para pemimpin mereka, mulai
tanggal di atas.
Kami berharap
pasukan-pasukan kami tiba
secepat mungkin.
Kami masih mengharapkan kebebasan kami.
Hari-hari berlalu dalam penjara.
Disamping kebrutalan-kebrutalan biasanya, makananpun menjadi semakin sedikit
dan terkadang mereka lupa memberi kami makan.
Pagi-pagi sekali pada tanggal
24 Desember, Pedro Aquino,
saat itu, sebagai kepala penjaga
penjara dan Komandan Milisia di Aileu, masuk ke penjara
bersama dengan binatang-binatang bersenjata
lainnya. Aquino dengan keangkuhan
biasanya dan menyeringai
seperti serigala, memerintahkan untuk memisahkan para pemimpin
Apodeti, UDT, dan banyak simpatisan kedua partai tersebut
lainnya. Dari kelompok yang dipisahkan tersebut, saya masih
ingat nama-nama mereka: saudara Luiz dan Jose Oliveira,
Luiz Queiroz Joao
Assuncao, Joao Gusmao, Wakil Presiden Apodeti Bapak Hermenegildo
Martins yang berumur sekitar tujuh puluh tahun,
saudara Feliciano C. Tilman dan Delfin Tilman.
Kelompok yang dipisahkan berjumlah lebih
dari seratus orang.
Lepas tengah hari, beberapa orang Fretilin yang lebih
moderat mengatakan kepada kami, bahwa teman-teman kami
dipindahkan ke penjara-penjara militer di Aileu. Kami tidak
percaya. Terhadap pertanyaan-pertanyaan kami tentang dimana
beberapa pemimpin UDT seperti Bapak Cesar Mausinho, Senanes,
Fernando Lue, dan Let.Kol. Masjiolo. para penjaga Fretilin
tersebut mengangkat bahu mereka, mengatakan: "Mereka
mungkin di suatu tempat di
penjara-penjara militer".
Kenyataannya, kami tidak
pernah bertemu mereka kembali,
mudah untuk meyakini bahwa teman-teman kami yang malang
tersebut sudah pergi untuk selamanya.
Potongan-potongan makanan sudah
berlangsung selama berhari-hari
sejak tanggal 27 Desember ketika
kami mendapatkan
perintah untuk keluar dari penjara
dan berbaris.
Untuk kelompok kami bersama Bapak Jose Fernando Osorio,
yang ditahan di sebuah sel militer dan
juga seorang
tokoh Fretilin Antonio Mota, yang menyerah secara suka
rela di Dili kepada pasukan gabungan kami
pada tanggal
18 Desember. Dia menerima untuk membawa pesan yang menyerukan
penyerahan Fretilin tanpa syarat,
untuk menghindari
pertumpahan darah. Pesan tersebut ditujukan kepada
kepala faksi bersenjata Francisco Xavier Do Amaral.
Menurut beberapa penjaga
Fretilin, Mota ditahan segera
setelah tiba di Aileu, beberapa lainnya
ingin membunuhnya,
namun dia diselamatkan oleh Nicolau Lobato. Kendati
demikian dia ditahan.
Kembali ke tanggal 27 Desember.
Setelah dibariskan kami
lebih dari tiga ratus orang, berbaris
dua-dua membentuk
suatu barisan besar menempuh jalan
Aileu- Maubisse
dengan belasan penjaga bersenjata berat. Di depan dan
di belakang kendaraan-kendaraan ringan membawa para tokoh
yang lebih penting.
Banyak diantara kami dipukul
dan akhirnya setelah satu
jam baru kami sampai di jalan raya. Cuaca begitu buruk.
Awan-awan hitam menutup langit dan tidak
lama setelah
itu hujan lebat mengguyur kami. Siksaan baru harus kami
terima dan dengan hanya menggunakan sobekan-sobekan kain
dan kaki belanjang, kami harus berjalan. Hanya Tuhan yang
tahu penderitaan kami. Beberapa orang mengatakan kami akan
ke Maubisse, lainnya dengan gemetar
ketakutan, mengatakan
kami akan ditembak dalam perjalanan tersebut. Dalam
kenyataannya berapa orang lanjut usia dan tawanan yang
lemah yang tidak bisa menahan itu, ditembak. Untuk menghapuskan
keraguan saya bertanya kepada seorang penjaga kita
akan pergi ke mana: "Ke Maubisse" katanya.
Tersiksa oleh kebrutalan-kebrutalan,
dengan tidak mengetahui
kapan ini semua akan berakhir, tersiksa oleh ketidakpastian
bagaimana dan dimana orang-orang yang kami kasihi
berada, dengan hanya ditutupi sobekan-sobekan kain dalam guyuran hujan lebat, dalam hati saya hanya bertanya kapan
ini semua berakhir. Hujan lebat terus berlangsung. Payung,
jas hujan? Oh, tidak ada. Jalan, jalan, jalan. Bangsat-bangsat
Fretilin, ya, mereka memakai jas hujan, atau
tetap kering dan hangat dalam kabin-kabin mobil. Mereka
bahkan tidak melihat pada kami.
Setelah lima mil pertama, kami
biasanya mulai jatuh karena
setidaknya kami sudah dua hari tidak makan. Salah seorang
penjaga yang berjalan dekat saya berkata kepada saya
ketika saya jatuh: "Apa kamu
ingin menyusul Hermenegildo
dan Magiollo?". Saya bertanya
kepadanya dimana
mereka berada, dan si penjaga menjawab: "Mereka semua
sudah dihabisi".
Andai sebuah batu menghantam mulut
saya, itu tidak akan
lebih sakit dari kata-kata di atas. Semua mati. Semua mati,
hanya karena mereka mencintai pulau kecil ini dan menentang
Fretilin. Dan Letnan Kolonel Masjiolo dengan karier
militer brilian, tidak tinggal diam membiarkan pulau
ini begitu saja. Sebagai seorang anti-komunis, dia tampil
untuk menghindari pulau ini dinodai
kekuasaan komunis.
Semua mati, mendahului kami. Hati saya mengatakan bahwa
kami akan segera menyusul. Saya menangis.
Dengan pikiran menerawang
pada teman-teman yang hilang,
hujan, angin, lapar, semuanya akhirnya menjadi tak terasa,
jalan, saya harus berjalan.
Kami sampai di kawasan Dai-Soli,
hari masih hujan. Kami
diperintahkan untuk berhenti. Kami dipisahkan dalam kelompok-kelompok kecil dan menyebar di suatu area kecil, yang
dikelilingi oleh senjata-senjata otomatis G-3 biasa, yang
dibawa oleh para penjaga Fretilin sebagai
alat pembunuh
bila ada gerakan kami yang mencurigakan. Siapa yang
mengurus kehidupan? Dan Tuhan? Ya, keyakinan saya. Bila
ada kehidupan, maka ada harapan. Kami menghabiskan malam
di Dai-Soli.
Untuk mengingat, saya mulai dengan
berceritera bahwa ketika
Maia berada dalam perjalanan ke Maubisse, saya sudah
ada di sana sejak tanggal 9 Desember, bersama dengan seratus
sepuluh teman tawanan yang diangkut dua truk dari Aileu.
Ketika kami bergabung dengan
teman-teman tersebut, kami
jadi tahu bahwa kami hanya akan mendapatkan makan satu
kali sehari dan sering terjadi satu kali setiap dua hari.
Sialnya, ketika kami tidak, kami tidak diberi makan sehingga
hari berikutnya kami kelaparan.
Hari berikutnya, selepas tengah hari, kami
mendengar keriuhan
-- orang-orang Fretilin tidak akan melakukan sesuai
tanpa keriuhan seperti pasar -- para
penjaga penjara
kami membuka pintu-pintu
gerbang untuk memungkinkan
kami mendapatkan makanan kotor, bau hari itu.
Dengan menyerupai serangan lebah,
teman-teman kami yang
ada di sana sebelum kami, melepas baju-baju mereka melompat
ke arah pintu gerbang. Mendorong, menendang dll. Orang-orang
baru seperti saya, pertama kali tidak tahu apa yang
mereka lakukan. Kemudian kami tahu bahwa baju-baju itu
mereka gunakan untuk membawa ubi-ubi rebus
yang dibagikan.
Kata "cepat-cepat" adalah tanda bahwa
yang berada
di belakang tidak akan kebagian jatah makan hari itu.
Kami melakukan hal yang sama. Berlari. Melepas baju. Mendorong,
memukul. Orang-orang Fretilin
menikmati pemandangan
tersebut. Kelaparan. Akankah itu cukup untuk semua
orang? Haruskah saya mengambilnya? Ya, lapar membuat kami
egois. Orang-orang Fretilin tertawa-tawa sinis. Ubi- ubi
rebus panas yang baru diangkat. Sadis. Mereka menanyai kami:
"Apakah anda mau membawanya dengan tangan? Kami akan memberimu
lebih banyak". Ubi masih panas sekali,
tak seorang
pun tahan memegangnya. Dua atau tiga potong ubi rebus
untuk jatah satu orang setiap hari. Besok kami makan atau
tidak, bukan masalah. Sekarang
kami sudah mendapatkannya.
Besok tidak usah dipikirkan, lihat saja besok.
Dengan cepat tiga potong ubi
hilang dari tenggorokan.
Masih ada lainnya? Tidak, tidak ada lagi yang lain.
Setelah makan, pintu ditutup. Dengan duduk
bersandar dinding,
kami melihat sekeliling. Seorang teman atau lainnya
akan menceriterakan suatu kisah lucu. Kemudian hening,
saya melihat sekeliling. Apa yang saya lihat dalam mereka,
mereka tentu saja juga akan melihat dalam diri saya.
Apa yang nampak, hanyalah tulang berbungkus kulit. Kerangka-kerangka.
Luka-luka karena cambuk dan popor senapan
itulah yang terlihat paling jelas pada tubuh kami.
Terkadang kesunyian
dipecahkan oleh suara sayup- sayup, kemudian menghilang. Kemudian seseorang
mulai berdo'a
dan lainnya ikut memohon pertolongan kepada Tuhan atas
kemalangan kami.
Hampir selalu setelah kami berdo'a, kami
diserbu para penjaga,
dengan cambuk-cambuk di tangan mereka berkata, kamu
dan kamu, dan kamu ke sini. Memukul mereka sampai puas.
Kemudian sekali lagi, kamu, kamu, dan
kamu. Kebrutalan
tersebut akan berlangsung berjam-jam hingga malam
hari, sampai orang-orang Fretilin lelah menghajar kami.
Banyak teman saya mati selama masa-masa brutal ini. Mereka
dibawa pergi dalam keadaan pingsan, dan mereka tidak
pernah kembali lagi. Bahkan sekarang pun saya masih sering
terngiang di telinga saya suara: "Kamu, kamu, dan kamu,
ke sini".
Segera setelah mereka
pergi kami akan mendengar nyanyian-nyanyian,
dan tepuk tangan ketika orang-orang minum-minum
hingga mabuk. Kami tidak tidur malam itu. Kami yakin
mereka akan kembali, dan kami yakin salah satu dari kami
akan mati bila mereka kembali. Kali ini mereka akan membawa
obor dan biasanya mereka akan memilih orang yang lebih
tegap, dan kebrutalan akan berlangsung lama, hingga orang
tersebut akhirnya jatuh bergelimang darah dan dibawa ke
luar. Jika mereka hanya setengah mabuk, mereka akan membawa
seorang lagi. "Kamu, anjing keparat ... kamu ingin merasakan
ini, bukan? Ayo, jawab, kamu merasa orang suci seperti
malaikat? Kamu akan segera menyusul mereka. Kamu ingin
dipukul?" Dicambuk? Jeritan-jeritan. Tawa gemuruh dari para eksekutor. Lihat anjing ini tersungkur. Cambuk lagi.
Kini hanya bisikan. "Anda ingin menghabisi dia...?" Lain-lainnya
memberi semangat. "Pukul dia, habisi dia". "Ya,
begitu"..., dan korban pun jatuh tersungkur, merintih kesakitan,
membuka dan menutup mulutnya, minta air, namun air
tidak pernah muncul, dan dia dibawa pergi.
Dalam keheningan
kami berdo'a untuk arwahnya.
Orang-orang pertama
yang dipukul biasanya akan menambah
jumlah kematian.
Orang-orang terakhir, biasanya lolos
dari kematian
brutal.
Diantara semua
masa brutal ini, yang paling mengerikan
tepatnya pada hari Natal. Pada tanggal 25 Desember,
setelah nyanyian biasanya, sekelompok orang Fretilin
yang dipimpin oleh komandan penjaga -- Domingos Pareira
-- Salah seorang yang paling keji.... memasuki penjara.
Dia mabuk, matanya merah. Para tawanan Apodeti diperintahkan
Pereira berkumpul di sudut. Satu demi satu dipukuli
secara brutal. Bila mereka jatuh,
mereka ditendang.
Salah seorang yang disiksa, adalah Luiz dos Reis
Araujo, kemenakan Bapak Arnaldo dos Reis Araujo. Terhadap
teman yang malang ini, Domingos Pereira dan kelompoknya
memperlakukan dia dengan begitu kejam, hanya nampak
makhluk merah, bermandikan darah. Darah mengucur dari
kepala, telinga, mulut dan punggung, saya tidak dapat mengenali
bekas-bekas cambuk lagi. Segera setelah dia kehilangan
kesadaran, kelompok itu mengguyurnya dengan air untuk
menyadarkannya kembali. Itu terjadi beberapa kali, hingga air menjadi tak berguna lagi untuk menyadarkannya. Sebagai
akibat kebrutalan ini, Luiz mati beberapa hari kemudian
di Ainaro. Jasadnya dikebumikan di daerah Mano- Tali.
Saat-saat terakhirnya, terjadi
karena orang-orang Fretilin
sial itu ingin menyaksikan kematiannya secar sadis.
Namun bagian ini akan saya ceriterakan kemudian.
Saya tidak akan pernah melupakan tanggal
25 Desember, hari
Natal. Dengan Luiz dalam keadaan koma, dan banyak diantara
kami diperlakukan secara brutal di hari kelahiran Juru
Selamat kami, suatu hari bahagia digantikan oleh perlakuan
brutal orang-orang Fretilin untuk mengirim kami ke
alam sana.
Hari berikutnya, 26 Desember
1976, sekitar tengah malam,
Domingos Pereira dan kelompoknya muncul kembali dalam
penjara. Dengan berdebar ketakutan kami menunggu apa yang
akan terjadi. Apakah kami akan dijadikan
subyek terhadap
kebrutalan-kebrutalan baru? Tidak, Domingos Pereira
kali ini meskipun dia membawa cambuk biasanya, memanggil
beberapa tawanan. Mereka adalah berikut ini: seorang
Cina, saya tidak ingat namanya, Amadeu Coelho Eropa,
Mayor Lourenso da Silva dari Same, Cosme, Januario Cabral,
Joaquim E. Santo dan Domingos Sequetra, semuanya dari
Dili.
Setelah dikumpulkan mereka dibawa
pergi. Kami tidak pernah
menjumpai mereka kembali sesudah itu.
Melalui pertanyaan-pertanyaan
berhati-hati kepada para penjaga Fretilin yang lebih moderat tentang tempat-tujuan kelompok tadi
mereka hanya akan menjawab: "Jangan khawatir, anda tidak
akan menjumpai mereka lagi".
Pada tanggal 27 Desember
Domingos dan kelompoknya muncul
kembali, suatu kunjungan yang sangat
tidak diharapkan.
Kekhawatiran baru muncul.
Setelah melihat
sekeliling, Domingos Pereira memerintahkan
pemisahan semua orang Eropa dan Mestizo. Jumlah
teman-teman kami tersebut sekitar enam puluh orang. Diantara
mereka yang masih saya ingat adalah Lino Pereira alias
Lino Cowboy; Lucio Enlarnacao, Antonio dos Santos Faisca
dan anaknya Jose Antonio, Joel Quim; mantan Kopral Mario,
dan Jorge, Henrique Simoes dan saudara-saudara serta
sepupunya, Luiz Queiroz, Fialho
mantan-Manajer Baucau
motel, Duarte, Sebasteao, Tavares, Henrique Faria, Almeida
yang dikenal sebagai Bohemian (orang berkehidupan bebas
seperti seniman), Jaime Pereira mantan Pemimpin Sipil,
Rui dan Francisco Goncalvez anak-anak
Ny. Carolina Goncalvez,
Antonio Lemos dan dua saudaranya Alexandre, Hegas,
dan masih menantunya, Antonio Aniceto,
Jaime Aniceto,
saudara-saudara Oliveira, Canelas, saudara ipar Afonso
Redentor boneka Fretilin.
Beberapa minggu kemudian teman-teman
ini bergabung kembali
dengan kami. Sehingga kami tahu, bahwa Fretilin menaikkan
mereka dalam dua truk ke Aileu, namun mereka tidak
sampai Aileu, karena di tengah jalan mereka bertemu orang-orang
Fretilin lainnya yang mundur karena desakan
pasukan-pasukan gabungan yang mulai
memasuki kota tersebut.
Pada tanggal 27 Desember 1975 dan setelah
mendapatkan laporan
Bapak Moniz Maia, ketika dia dan para koleganya menghabiskan
malam di Dai-Soli, kita
kembali ke penyiksaannya
untuk memungkinkan suatu pemahaman yang lebih
baik tentang laporan ini.
Kami menghabiskan malam tanggal 27
Desember di Dai- Soli.
Kami disebar dalam
kelompok-kelompok yang dikelilingi
oleh para penjaga bersenjata. Kelelahan dan kelaparan
yang menyiksa meningkatkan kelemahan fisik kami. Dalam
keadaan seperti ini kami tidak bisa mengacuhkan dimana
kami harus tidur. Kami berbaring seperti kerbau di kubangan,
namun tertidur juga.
Segera setelah keadaan
terang kami dibariskan kembali.
Dengan berjalan beberapa ratus meter kami sampai ke
sebuah ladang jagung, dan pohon-pohon mangga di sisi jalan.
Nampak seperti mimpi. Banyak diantara kami berlari seperti
orang gila mengambili jagung dan mangga. Lapar. Dengan
segera para penjaga menembak ke udara, sementara lain-lainnya
memaksa teman-teman kami yang sudah mengambil jagung
dan mangga untuk meninggalkannya, dan
dengan tendangan
dan pukulan para penjaga membuat teman-teman kami
kembali ke barisan. Ketika kami berdiri, para penjaga mulai
mengambilinya, sementara lain-lainnya
memukuli teman-teman
kami, dengan memperlihatkan kebrutalan mereka. Ketika
hari mulai hujan para penjaga berhenti mengambili jagung dan mangga, dan kembali memulai lagi perjalanan dengan
semua penjaga makan mangga, sementara
kami, tahanan,
kelaparan, hanya menelan air ludah.
Tanpa kejadian berarti lainnya kami
sampai di kota Maubisse
sekitar pukul 2 sore, setelah perjalanan panjang 30
km, sebagian besar diguyur hujan.
Di Maubisse para penjaga menggiring
kami ke gudang ubi,
seperti di Aileu, yang juga berfungsi sebagai penjara di
Maubisse. Kami dibariskan di depan pintu gerbang dan dihitung.
Penghitungan dan pendaftaran nama-nama kami menghabiskan
waktu hampir dua jam, kemudian kami bergabung dengan
para tahanan yang sudah ada di sana.
Dengan tambahan
kami, jumlah penghuni penjara
Maubisse menjadi lima
ratus orang. Karena area gudang yang sempit, kami dijejalkan
seperti ikan sarden dalam kaleng, tidak ada ruang
untuk bergerak. Pada hari itu kami tidak makan apa- apa.
Bau keringat sangat menyengat, karena kami tidak diperbolehkan
mandi ataupun mencuci pakaian.
Pintu gerbang tetap tertutup hingga hari
berikutnya. Hari
itu kami isi dengan beberapa item
pembicaraan. Kadang-kadang
suatu kelompok berdo'a, dan
kemudian semuanya
ikut bergabung. Setelah itu terkadang ada yang berceritera
lucu dan banyak yang tertawa. Ada kalanya hening
sama sekali, saat-saat kami mengingat keindahan dan kegetiran
hidup kami. Saya katakan demikian karena saya yakin
semuanya akan berpikir seperti saya. Terisolir, dipaksa
menyerah oleh situasi, tidak ada harapan untuk
selamat. Terhadap keadaan ini, kami hanya memikirkan jiwa kami,
mengingat semua hal yang manis dan pahit
dala kehidupan
kami, mungkin kami tidak akan pernah berjumpa lagi.
Terkadang, tanpa sadar kapan datangnya, tiba-tiba seorang
teman sudah ada di samping saya. Dengan
mata menerawang,
bibir gemetaran. Berdo'a, mengutuk? Entahlah. Apa
sebenarnya yang terjadi terhadap teman-teman saya yang sudah
tidak di sini? Kata seorang yang berdo'a lainnya bertanya
kepada Tuhan. Sementara lainnya lebih optimis, dengan
mata bersinar, dan penuh
keyakinan mereka mengatakan:
"Jangan khawatir teman-teman, kita akan keluar dari
ini semua, anda akan lihat". Ada juga yang kurang optimis,
mereka siap mati untuk menyelamatkan orang lain dan
orang-orang ini akan berciritera kepada sanak keluarga mereka
mengenai penderitaan mereka. Bagaimanapun juga, kita
akan mati dalam Tuhan dan menunggu orang-orang yang kita
cintai di sorga.
Hari berikutnya, tanggal 29
Desember 1975, jam 8 pagi,
pintu-pintu gerbang dibuka, kami dikeluarkan dan digiring
ke barak militer, dimana kami menunggu hampir satu
jam. Akhirnya, Nicolay Lobato muncul, diiringi oleh sekelompok
besar orang-orang bersenjata, disamping para kolaborator
dekatnya, Helio Pina, Cesar
Mau-Laka, Carvarino,
Guido Soares, Velente, semuanya menghabiskan malam
itu di sini di Maubisse.
Nicolau sebagai pimpinan
kelompok, dengan suara lantang
berkata: "Saya mendapatkan berita, ada di sini, anjing-anjing yang tidak mau membawa kotak-kotak amunisi kami,....
Terhadap anjing-anjing ini dan lainnya yang tidak
mau bekerjasama, akan segera saya berikan "hadiah- hadiah"
untuk mereka. Setelah itu, beberapa senapan mereka mengarah
ke kami. Nicolau berkata lebih lanjut: "Kepada semua
anjing yang menolak terhadap apa
yang kami perintahkan,
saya siapkan mereka untuk eksekusi dengan segera....
bagaimana? Apakah kamu lebih suka mati hari ini di
tempat yang sama atau membawa kotak-kotak kami?"
Dengan gemetar kami semua berkata
ya. Meskipun kami tahu
tujuan kami sudah dekat, namun kami berusaha untuk menyelamatkan
diri saat itu.
Puas atas
hasil ancaman-ancamannya, Nicolau memerintahkan
untuk membawa kami ke kotak-kotak tersebut, dan
masing-masing orang menerima satu kotak yang beratnya sekitar
62 lb, yang dalam keadaan-keadaan normal tidak akan
begitu berat membawanya. Namun setelah
beberapa minggu
kekurangan makan dan diperlakukan secara brutal, seseorang
mungkin merasa seperti memikul bumi di atas bahunya.
Kotak-kotak neraka tersebut dibawa dari Dili dan Aileu
oleh teman-teman kami yang ditawan di sana.
Setelah sesaat menunggu, tanpa
diberi makan, kami diperintahkan
untuk berbaris ke Same. Tak lama setelah kami
berjalan hujan lebat pun turun sepanjang perjalanan ke
Alto-Fiecha, suatu tempat 20 mil dari Maubisse. Kotak- kotak
yang semakin berat karena basah, jalan licin dan berlumpur,
perut kosong, bentakan-bentakan Fretilin agar terus berjalan... tidak boleh berhenti....
membuat penderitaan
kami tak terkatakan, lengkap sudah. Kemudian kami
diambil alih oleh kendaraan-kendaraan ringan yang membawa
Lobato, Carvarino, Cesar Mau-laka dan lain-lainnya. Setelah
beberapa mil mulailah suatu drama baru.
Banyak teman kami mulai jatuh dan
mendapatkan pukulan hingga
mereka bangun. "Jalan" bentak para penjaga kami. Lainnya
lagi jatuh. "Jalan anjing"! 29 Desember
yang hitam.
Dihukum dengan beban berat, tersiksa oleh hujan dan perlakuan
buruk, lemah karena perut kosong, oh Tuhan, kami hanya
mendengar: "Jalan bangsat!, anjing yang berhenti akan
ditembak kepalanya.... jalan terus....!".
Diantara kami, orang yang paling tersiksa
tentu saja John
Damas. Teman kami yang malang ini jatuh beberapa kali dan
disiksa oleh Fretilin. Ketahanan John Damas tidak begitu
lama.
Pada suatu saat dalam
perjalanan itu hujan turun bagai
dicurahkan dari langit, jalan seperti sungai, John Damas
sekali lagi jatuh. Saat itu dia jatuh lurus ke depan seperti
disambar petir. Kepalanya terhunjam dalam air dan tidak
bergerak lagi. Beberapa penjaga mengelilingi dan memukulnya.
Salah seorang dari mereka
membalikkan kepalanya.
Air hampir menutupi seluruh wajahnya. Pemukulan terus
berlanjut, namun John tetap diam. Bangsat-bangsat Fretilin
terus memukul dan menendangnya. Kemudian salah seorang
mengarahkan senapan kepadanya. "Satu tembakan akan menghabisinya",
saya kira. Pada moment yang
tepat, meskipun, dia seperti dihidupkan oleh kekuatan misterius, dia
mulai bangkit. Event tersebut terjadi tepat di samping saya.
Perlahan John berdiri. Dengan melihat keadaannya, memberikan
kesan seolah-olah dia baru saja tiba di sini. Tembakan
tidak terjadi, John diselamatkan. Dia
ikut melanjutkan
perjalanan.
Meskipun kami ingin membantu John,
namun kami tidak bisa,
karena kami memikul beban. Kami sampai di Alto- Flecha
pada pukul 4 sore. Kami berjalan 10 km menghabiskan waktu
6 jam. Dengan melihat waktu yang dihabiskan saja dalam
jarak dekat anda dapat membayangkan
beratnya perjalanan
kami. Namun sebelum berlanjut saya
ingin menceriterakan
episode berikut. Sekitar satu mil sebelum Alto-Flecha,
Canelas Eropa dan Francisco Oliveira, seorang Mestizo,
mendapatkan kesempatan untuk lari di
suatu tikungan
dan tidak dilihat para penjaga. Mereka cepat menyelinap
ke sisi jalan dan menghilang masuk hutan. Para penjaga
pertama kali tidak mengetahuinya. Manuel Oliveira, saudara
Francisco yang melihat mereka lari, mendekati sisi jalan
dan melompat, namun dia terlalu lamban, sehingga seorang
penjaga menanyainya dengan curiga apa yang dia lakukan.
"Saya kencing" jawab Manuel.
Kami tidak tahu
apakah mereka selamat setelah pelarian
tersebut, namun hingga kini kami tidak mengetahui sesuatu
tentang mereka.
Kami diperintahkan
berhenti ketika sampai Alto-Flecha. Kami
menurunkan semua kotak amunisi di satu tempat, yang ditunjukkan oleh para penjaga bersenjata. Bebas
dari beban berat tersebut, lelah luar biasa, dengan menahan
lapar, kami duduk berkelilingdalam
kelompok- kelompok,
yang dikelilingi oleh para penjaga. Meskipun para
penjaga Fretilin mungkin sedang menunggu para bos mereka,
namun kami tidak bisa berbaring di tanah basah, akhirnya
kami hanya beristirahat sambil duduk jongkok.
Setelah hampir
satu jam para penjaga
kami memerintahkan
untuk bangun dan berbaris, kemudian memulai perjalanan
tanpa kotak-kotak berat yang sangat menyiksa. Beberapa
penjaga mengatakan amunisi-amunisi akan tetap di sana
untuk mensuplai Fretilin dalam bertahan
melawan pasukan-pasukan
kami yang terus mendesak. Sekitar pukul 8 pagi,
kami sampai di sebuah desa kecil (suatu kelompok empat
atau lima gubuk bambu dan beratap ilalang) yang disebut
"Laqui-Bau-Ulo" dan ditampung di sebuah
S.D. (sekolah
dasar). Malam itu kami masing-masing mendapatkan dua
potong ubi jalar untuk sekedar mengisi perut yang kosong.
Dua potong ubi jalar yang sangat berarti tersebut dengan
cepat menghilang dalam tenggorokan sebelum kami menyadarinya.
Kemudian perut terasa melilit kesakitan meminta
tambahan makanan, namun dimana akan memperoleh makanan
lagi. Rasa sakit menjadi tak tertahankan ketika ter
cium bau harum daging panggang. Oh, Tuhan, berikan pada
kami tulang belulangnya saja....
Sekali-sekali kami mendengar suara
terompet, karena Fretilin
memberikan pesan purbakala untuk mengumpulkan penduduk di sana. Kehadiran penduduk tidak berlangsung lama.
Meskipun kami terkunci dalam sekolah namun kami mendengar
suara-suara di luar. Pertama kami mendengar suara
riuh rendah dari suatu kelompok besar, kemudian teriakan-teriakan
seseorang. Kemudian, suara yang sama memulai
suatu pidato untuk menghasut penduduk, dengan mengatakan
kepada mereka bahwa di dalam sekolah itu ada penghianat-penghianat,
musuh-musuh rakyat, dimana penduduk harus
mengawasi mereka dan jangan beri ampun bagi siapa saja
yang berusaha keluar. Pagi berikutnya, tanggal 12 Desember
1975, pintu-pintu dibuka dan kami keluar. Karena di
bawah guyuran hujan dan perintah-perintah untuk terus berjalan,
kami mengira bahwa kami kembali ke Alto-Flecha untuk
mengambil kotak-kotak, rupanya kami bahkan ke Same. Dengan
demikian mengkonfirmasikan bahwa Fretilin ingin menahan
pasukan-pasukan kami yang terus maju
diAlto- Flecha.
Disamping guyuran hujan berkesinambungan, tidak ada
hal khusus yang terjadi hingga Same, dimana kami tiba senja
hari. Perjalanan tersebut ringan.
Sekalipun demikian,
kami sudah kehabisan tenaga, saya
tidak mengatakan
kelaparan karena ini hal biasa sejak kami berada
dalam cengkeraman Fretilin.
Di kota Same, hujan masih berlanjut, kami
dibariskan di
depan gedung pasar. Banyak orang sipil,
beberapa diantaranya
sanak keluarga kami, berusaha untuk mendekati kami,
namun dihalau oleh para penjaga kejam dan harus darah,
binatang bertubuh manusia. Kepedihan baru. Betapa
pedihnya banyak diantara kami mendengar panggilan orang- orang
yang kami cintai tanpa bisa menjawab.
Mereka menjerit
dan meneriakkan nama-nama orang yang mereka cintai,
yang mereka kenali hanya melalui sosoknya, karena tinggal
tulang dibungkus kulit, lama kelaparan
dan perlakuan
brutal di penjara-penjara. Kami hanya bisa diam, namun
hati kami menangis. Yang terisak segera dipukul. Setelah
lama berhenti, mungkin disebabkan oleh
suatu pertemuan
Fretilin untuk mencari pemecahan mengenai kami, kami
dibagi menjadi dua kelompok besar,
yang satu ditempatkan
di S.D. disamping Motel, dan kelompok lainnya ditempatkan
di S.D. dalam area pasar. Dalam pada itu, sudah
ada para tawanan dalam sekolah dekat Motel. Untuk selanjutnya,
kami akan menyebut kedua penjara sekolah tersebut
sebagai "Motel" dan "Pasar".
Berikut
ini laporan Bapak Maia:
Saya ditampung di "Mercado -
Pasar" pada tanggal 30 Desember
'75 dengan teman-teman saya. Sekitar pukul 10 malam,
sekelompok Fretilin bersenjata masuk
kedalam penjara
tersebut dan memanggil dua
orang mestizo bersaudara,
Aquedo dan Maucuro, yang juga
merupakan saudara-saudara
seorang tokoh Fretilin Juvenal Inalio, seorang
mantan pemain sepak-bola. Dua bersaudara tersebut keluar
dan tidak pernah kembali lagi.
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali,
kami keheranan, muncul
banyak orang-orang sipil yang membawa keranjang- keranjang
makanan dan botol kopi. Makanan yang dibawa oleh teman-teman kami tersebut merupakan kebahagiaan yang tak terkira.
Tidak pernah saya bayangkan. Akhirnya kami bisa makan,
yang memberi kami kekuatan dan membebaskan kami dari
keadaan setengah mati. Kemudian kami tahu, bahwa setelah
membayar uang sogok kepada para tokoh Fretilin lokal,
dan kepada para penjaga, teman-teman kami boleh membawakan
kami makanan. Pada saat kami makan, teman-teman kami
dan beberapa sanak keluarga bercerita kepada kami bahwa
banyak orang melihat beberapa mayat di
pinggir sungai,
yang dibunuh dengan pisau atau panah. Berdasar deskripsi
mayat-mayat tersebut kami bisa yakin bahwa mayat Aguedo
dan Mau-Curo berada diantara mayat-mayat tersebut, karena
kedua teman kami tersebut berkulit-bersih. Teman- teman
kami menambahkan bahwa mayat-mayat
tersebut memperlihatkan
luka-luka parah di leher, dada, perutnya sobek,
dan usus terhampar di sampingnya. Inilah akhir kebrutalan
terhadap teman-teman kami yang malang, hati kami
menjerit dan berdo'a kepada Tuhan untuk arwah mereka. Melalui
teman-teman kami juga tahu bahwa pastor (priest) lokal,
Bapak Raphael sedang berupaya untuk memperoleh bahan
makanan dan yang diperlukan lainnya dari komunitas Katholik
untuk meringankan penderitaan kami. Dalam usaha- usaha
untuk membantu kami, dia mendapatkan tantangan keras dari
Fretilin, namun dia tidak menyerah. Dia menyerahkan dirinya
kepada boneka-boneka Fretilin, dengan mengatakan bahwa
dia adalah Utusan Tuhan dan hanya
Dia, yang dipatuhinya.
Bahkan dengan sikap negatif Fretilin dia melakukan segala sesuatu untuk memberi kami makanan dan dukungan
moral. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut Bapak Raphael
menyatakan sebagai seorang pastor dia bisa memihak pada
salah satu partai, karena semua manusia adalah anak Tuhan
dan dengan demikian membutuhkan bantuan. Dengan kata-kata
yang adil dan benar ini dia
mendapatkan kompensasi
tahanan rumah dan bila saja dia ingin melakukan sesuatu
atau pergi ke suatu tempat, dia harus meminta ijin dari
Komandan Militer, yang pada
gilirannya akan memerintahkan
seorang penjaga bersenjata untuk mengawasinya.
Sekalipun demikian, Bapak Raphael tidak pernah
tinggal diam, dia terus meminta penduduk untuk membantu
kami, dialah yang
pertama memberikan perbekalannya
kepada kami. Saya sangat hormat kepada pastor
yang baik ini, meskipun saya
tidak pernah kehilangan
keyakinan saya, contoh yang
diberikannya merupakan
suatu konfirmasi bahwa tidak ada yang perlu ditakuti
oleh orang yang bersama Tuhan.
Karena kami diminta untuk
mengkoordinasikan laporan kami
dan sebagaimana teman saya Januario De Carvaiho yang ditahan
di "motel", maka saya persilahkan
dia untuk melanjutkan
laporannya.
Di tengah malam tanggal 12 Desember 1975,
sekelompok Fretilin
bersenjata memasuki penjara dan setelah suatu pengecekan
lama, seorang yang nampak sebagai pimpinan Henrique
Faria (Eropa), dan seorang pemuda Timor, yang sekarang
ini saya tidak ingat namanya. Dengan berjalan di tengah-tengah
kelompok tersebut, tiga teman kami yang malang
keluar dan tidak pernah kembali lagi.
Hari berikutnya,
ketika beberapa penduduk sipil membawakan kami makanan,
kami mengetahui akhir menyedihkan dari teman-teman
kami yang malang. Mayat-mayat mereka yang penuh bekas
tikaman ditemukan di pinggir sungai dengan perut- perut
tersobek. Jadi, sesuai dengan laporan Bapak Moniz Maia
tentang akhir menyedihkan dari teman-teman kami, Aguedo
dan Mau-Curo, malam itu Fretilin membunuh lima orang
pemuda dengan cara primitif, tanpa belas kasihan.
Kini Bapak Moniz Maia akan
melanjutkan pernyataan- pernyataannya.
Di sekolah - penjara (pasar), tidak ada
sesuatu yang istimewa
terjadi kecuali pembagian makanan untuk pertama kali
sejak kami berada di sana, tanggal 3 Januari 1976. Hari
itu para penjaga kami membawa sebuah drum dengan nasi lembek,
tanpa sayur atau pun lauk pauk lainnya.
Karena kami tidak memiliki
piring atau sendok -- orang-orang
yang memilikinya, yang diberi sanak keluarga mereka
ketika di Same, harus menghabiskan jatahnya dengan cepat
dan segera memberikannya kepada orang lain, jangan sampai
terlambat sedikit pun karena para penjaga akan marah
dan menghentikan pembagian tersebut.
Pemberian makanan
berlangsung beberapa hari, walaupun hanya sekali sehari.
Yang sedikit membantu adalah sanak keluarga dan teman-teman kami yang sering
membawakan makanan. Kuantitasnya
memang tidak cukup untuk mengenyangkan perut kami,
namun kami sangat berterima kasih atas sumbangan mereka
yang sangat berarti, karena kami juga tahu bahwa penduduk
sipil juga sangat sulit untuk
mendapatkan makanan,
itu sudah merupakan bantuan yang besar.
Pada tanggal 5 Januari
1976 pukul 2 sore, kami kedatangan
orang-orang Fretilin yang baru,
dengan pandangan
sinis. Kali ini disamping para
penjaga bersenjata
biasanya, muncul juga para tokoh, anggota- anggota
Komite Sentral Fretilin: Cesar Mau-Laka, Juvenal Inacio,
keduanya dari Dili; Antonio Sepeda, Adriano Corte- Real,
Victor Da Costa, Pedro Corte-Real dan
Domingos Pinheiro,
semuanya dari Same.
Dengan mata-mata merah harus darah,
mulut tertutup mencibir
sinis penuh kebencian, boneka-boneka ini dengan membusungkan
dada berjalan dari satu ujung ke
ujung lainnya,
mengindikasi para tawanan yang akan dipisahkan. Para
tawanan dibawa seperti sapi oleh para penjagal, saya juga
termasuk. Kami berjumlah sekitar enam puluh orang, yang
meliputi para tokoh terkemuka dan militan Apodeti dan U.D.T.;
saya tidak ingat nama mereka satu per satu, namun saya
masih ingat nama-nama Jose F.
Osorio Soares (Sekretaris
Jenderal Apodeti); Arlindo Osorio, Domingos Osorio;
mereka semua adalah saudara kandung dan sepupu, Mario
Zuarez, Peter Mui, pemilik Bistro Pearl di Orien Bucau,
Guilhermino Da Silva, Mateus Araujo, Said Musah, Tony Alon, Lino Cow-Boy, Alfredo Issac dan anaknya Manuel dan
Antonio Simoes, Francisco Simoes, Luiz Simoes, Adelino Simoes dan Henrique Simoes, semuanya bersaudara.
Setelah berbaris di luar, para
penjaga menggiring kami
ke sel-sel sekuriti Marimusa di penjara kota. Dalam pada
itu, para tawanan yang diklasifikasikan oleh Fretilin sebagai
berbahaya ditransfer dari "pasar" ke "motel".
Kami dijejalkan dalam
sel-sel rahasia yang daya tampungnya
sebenarnya tidak layak bahkan untuk menampung sepertiga
dari kelompok kami sebanyak 60 orang. Namun bagi Fretilin
itu bukanlah masalah. Kami harus bertahan dalam keadaan
penuh sesak dan berjejal. Tepatnya ukuran sel tersebut
adalah 2 x 3 m, dan dua lainnya bahkan lebih kecil.
Sel-sel ini memiliki koridor sempit dengan sebuah pintu
kecil untuk keluar. Tanpa sistem ventilasi
dan jendela,
panasnya bukan main, disamping juga bau yang menyengat
karena kami juga harus kencing di lantai sel.
Untuk meringankan keadaan kami
berusaha melupakan penderitaan
kami, kami bercerita lucu-lucu dan ngobrol kosong
tanpa arti. Bila kami kehabisan kisah-kisah lucu, kami
berdo'a kepada Tuhan dan menyanyikan
nyanyian- nyanyian
religius. Bersama dalam sel-sel sempit, bersama dalam
berdo'a dan kelaparan serta perlakuan buruk, kami merasa
dekat lebih dari saudara kandung.
Beberapa kali kami diganggu oleh
para penjaga, yang akan
menyerang masuk ke dalam sel-sel, memukul
kami, mencari
maki dan berkata: "Hentikan semua ini anjing....! Kamu
kira dengan do'a-do'a Chico Lopez dan kelompoknya akan
semakin kuat? Kamu sudah tahu bahwa Maubere tidak takut....
Biarkan anjing-anjing itu datang dan mereka akan lihat
apa yang akan mereka dapatkan". Lain-lainnya tetap diam,
hanya mengawasi dan tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman
mereka. Ketika itu terjadi kami akan berhenti, mulai
lagi setelah para penjaga meninggalkan kami.
Memang aneh. Ketika selesai berdo'a saya
merasa lebih tenang.
Kalau sebelumnya hari saya merasa khawatir dan takur
terhadap apa yang akan terjadi pada saya, itu akan hilang
setelah berdo'a, bahkan saya menjadi senang, ya senang.
Karena saya merasakan ada suatu kekuatan dalam diri
saya yang sampai sekarang tidak bisa saya jelaskan.
Dalam sel-sel rahasia tersebut
kami hanya diberi makan
sedikit dalam sehari, nasi kotor. Untuk buang air besar,
disediakan sebuah drum di koridor, yang isinya harus
kami buang bila sudah penuh dengan menggali lubang untuk
menguburkannya.
Dari permulaan hingga tanggal 27 Januari
para penjaga Fretilin
tidak memperlakukan kami dengan buruk, kecuali hanya
mengganggu kami dalam berdo'a dan mengancam yang membuat
kami gemetaran.
Hari itu Fretilin mendengar
berita bahwa pasukan gabungan
sudah sampai Betano, mereka sibuk untuk membawa kami
pergi, untuk menghindari penyelamatan kami
oleh pasukan
gabungan. Kami sekali lagi dipindahkan ke Hola- Rua.
Tawanan lain yang ditahan di "Pasar" juga dipindah ke Bitite dimana pembunuhan Bapak Mateus Ferreira
yang terbunuh
memiliki perkebunan kopinya, yang mati di Dili dalam
bulan September '75, karena kebrutalan-kebrutalan yang
dideritanya dari para penjaga Fretilin.
Bapak Ferreira,
sejak penahanannya di suatu tempat di bagian timur
pulau tersebut, menjadi korban kebengisan dengan intensitas
sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak dapat dikenali
lagi. Dia mati segera setelah sampai di Dili.
Baiklah,
kita kembali ke Hola-Rua....
Di Hola-Rua kami ditahan di rumah Mayor
Lourenso, dia sendiri
seorang tawanan. Satu jam kemudian para tawanan yang
diklasifikasikan berbahaya tiba dari "Motel", ditahan bersama
kami. Karena mayoritas dari kami adalah anggota aktif
Apodeti dan U.D.T. sejak saat itu kami yakin bahwa ini
akan menjadi tempat terakhir bagi kami sebagai tawanan yang
masih hidup. Kematian sedang menunggu kami. Sebagai suatu
catatan, saya ingin menyebutkan kelompok
yang menggiring
kami ke Hola-Rua, dikomandani oleh Cesar-Mau- Laka
yang terkenal bengis, Adriano corte-Real, Domingos Pinheiro,
Joaquim Pinheiro dan Pedro Corte-Real. Setelah satu
jam di dalam rumah tersebut, beberapa penjaga dengan tujuan
menakut-takuti kami mengatakan, penduduk sipil sudah
datang secara sukarela (saya ragukannya)
untuk memperkuat
pengawasan sekitar rumah dimana
kami berada. Salah
seorang penjaga sebelum pergi memperingatkan: "Jika kamu
ingin menggali lubang, katakan pada kami sehingga kamu
menggali lubangmu sendiri.... sebelum kamu mati".
Setelah dia menutup pintu,
kami berpandangan satu sama
lain dalam kesedihan. Kami mengulangi rekomendasi bahwa
siapa pun yang selamat harus menceriterkan kepada keluarga
dan teman-teman kami tentang penderitaan kami dan tempat
di mana Fretilin menghabisi kami. Seraya setelah itu,
karena kami sedang menuju kematian, kami berdo'a. Pada
saat itu saya membayangkan kembali semua yang sudah saya
lakukan. Saya meminta ampun atas dosa-dosa saya dan memaafkan
musuh-musuh saya. Saya ingin siap untuk bertemu dengan
Tuhan.
Sekitar pukul 10 malam kami
mendengar suara sebuah mobil
yang berhenti dekat rumah. Kemudian pintu dibuka dan orang
yang cukup kami kenal, Gusmao, seorang mantan sersan fanatik,
yang diiringi oleh suatu
kelompok kecil bersenjata,
mengeluarkan selembar kertas dari sakunya. Dia mulai
memanggil nama-nama, termasuk nama saya. Nama-nama yang
dipanggil adalah: Jose Fernando Osorio Soares, Moniz Maia
(saya sendiri), Mario Zuarez, Peter Mu, Domingos Osorio,
Arlindo Osorio, Manuel Jacinto (semuanya anggota keluarga
Osorio), dan Said Musah. Ketika kami keluar orang-orang
Fretilin di luar mengatakan kepada kami untuk melepas
baju kami dan mengikatkannya di kepala
untuk menutup
mata. Sebelum mata saya ditutup saya tahu bahwa kendaraan
yang diparkir adalah sebuah land-rover dengan bak
terbuka. Kendaraan tersebut melaju dengan cepat. Para pembunuh
kami khawatir kami bisa lari.
Jalan-jalan berlubang
di malam hitam pekat. Akhirnya kami berhenti. Inilah saat segalanya akan berakhir. Kami diturunkan dari land-rover
dengan mata tertutup. Dengan segera
saya berdo'a
dan meminta kepada Tuhan untuk memberi
saya kematian
yang cepat. Tanpa diketahui saya menggeser ikatan dari
mata saya, saya bisa melihat sesuatu. Mobil diparkir di
tengah jalan di wilayah Hat-Nipa. Kami
dikelilingi orang-orang
Fretilin bersenjata untuk mencegah kami lari. Cahaya
lampu mobil begitu benderang menyilaukan. Satu- satunya
jalan adalah menuju air terjun yang di bawahnya mengalir
sungai berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat
kami berada. Di seberangnya sebuah kaki gunung yang curam,
hampir tidak mungkin didaki. Fretilin memilih sisi kanan
sungai untuk tujuan mereka. Satu-satunya jalan untuk lari
adalah melompat ke bawah air terjun...
Saya mendengar sebuah
tembakan. Pekikan-pekikan. Kemudian
satu tembakan lagi. Pekikan-pekikan: "Jangan!! Jangan!!
Jangan!!" Sebuah tembakan lagi. Saya menarik sedikit
lagi baju penutup mata saya. Di depan saya Bapak Osorio
sedang berbicara dengan para pembunuh kami, dengan mengatakan
"Jangan beri kami kematian yang
memalukan seperti
ini!!! Anda lebih baik mengirim kami ke garis depan!!
Jangan membunuh kami seperti
ini. Tolong hentikan!"
Fretilin menjawab. "Berhenti merengek. Kamu akan
bebas". Sebuah tembakan menyusul, dan Bapak Osorio pun
pergi untuk selamanya. Saat itu sama mendengar lebih banyak
rengekan dan permohonan belas kasihan. Siksaan ini masing
sering terngiang dalam ingatan saya. Saya tergoda untuk berlari menuju para pembunuh saya dan mengatakan kepada
mereka bunuhlah saya dengan segera, namun itu tidak saya
lakukan. Kemudian saya mengenali suara
Arlindo Osorio,
yang menjerit meminta untuk berdo'a lebih dahulu. Pemandangan
tersebut masih segar dalam ingatan saya. Namun Fretilin
mencengkeram dan mendorongnya ke pinggir jalan, dia
menjerit-jerit untuk berdo'a lebih dahulu. "Ijinkan saya
berdo'a, ijinkan saya berdo'a". Di sini
Arlindo Osorio
ditembak dari jarak dekat dan menghilang jatuh ke dasar
air terjun. Saya terus meminta dalam hati "Bunuhlah saya,
bunuhlah saya, pembunuh". Saya tidak ingin melihat peristiwa
itu lagi. Namun itu belum sampai pada giliran saya.
Binatang-binatang Fretilin itu kemudian menuju ke Manuel
Jacinto. Orang ini menjerit dan berpegangan kuat pada
kendaraan. "Jangan! Jangan!", katanya. Para pembunuh mendorong
Manuel, namun dia tidak beranjak dari kendaraan tersebut.
Dia dipukul, tapi dia tidak
melepaskan cengkeramannya.
Kemudian sebuah tembakan, dan Manuel pun terdiam.
Saya kehilangan kontrol, dan berlari ke air terjun
sambil berteriak, saya ingin mati dengan cepat. Saya
tidak tahan melihatnya lagi. Saya mempermudah tugas kejam
mereka. Para pembunuh mengelilingi saya,
dalam sekejap
saya mengalihkan pikiran saya ke Tuhan.
Saya mendengar
sebuah ledakan dekat telinga saya. Pada saat itu kepala
saya terasa panas terbakar, saya jatuh tersungkur setengah
sadar, namun tidak kehilangan ingatan
sama sekali,
saya terguling-guling menggelundung
beberapa meter. Tubuh saya menabrak pohon-pohon kecil, batu-batuan dan
sebagainya.
Saya
mendapatkan kekuatan. Tiba-tiba ketika saya baru sadar
bahwa saya selamat dari mimpi buruk, tangan saya dengan
susah payah mencengkeram segala sesuatu.
Saya mencengkeram
rumput-rumput, batu-batuan, akar dan pohon- pohon
kecil agar saya tidak terus melorot dan akhirnya jatuh
ke tempat yang lebih keras. Tidak lama kemudian kaki saya
terasa sudah cukup kuat untuk merangkak
mencari tempat
beristirahat. Jari-jari saya mencengkeram dengan kuat
sebuah pohon kecil. Dasar jurang di
bawah tak kelihatan,
ke atas juga tidak ada bedanya. Saya menutup mata
saya. Rasa sakit karena luka tembakan di kepala saya sangat
menyiksa. Saya merasakan ada cairan panas yang turun
ke leher saya. Saya takut kehilangan banyak darah dan
kekuatan untuk naik ke jalan. Untunglah peluru itu hanya
memberikan luka yang tidak begitu
lebar dan berbahaya.
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Fretilin
melihat tubuh saya. Karena malam gelap dan tanpa bulan,
mungkin mereka tidak melihat saya.
Apa pun yang sedang terjadi,
saya tidak bergerak. Saya
menutup rapat mulut saya untuk menahan rasa sakit. Saya
mendengar suara-suara dan orang tertawa di atas.
Saya mendengar suara
land-rover. Kemudian suara pintu-pintu
ditutup. Lalu saya mendengar mobil meraung beberapa
kali. Saya kira mereka memutar haluan mobil. Saya tunggu.
Kemudian kendaraan tersebut mulai pergi karena suaranya terdengar semakin menjauh. Saya mulai bergerak naik
dengan sangat perlahan dan sangat waspada. Saya sudah merasa
kuat. Saya takut jatuh ke dasar jurang.
Terus bergerak
naik dengan kaki terjengkang-jengkang ke sana ke mari.
Terkadang kaki saya terpeleset, namun jari-jari tangan
saya selalu mencengkeram akar pohon atau sebatang pohon,
tangan saya selalu di depan mencari tempat datar. Jari-jari
tangan saya sudah lecet-lecet dan berdarah, namun
saya tidak merasa sakit. "Naik,
naik", saya menyemangati
diri sendiri. Kepala saya yang terluka tidak menyusahkan
saya lagi. Mungkin keinginan saya
untuk berupaya
selamat yang membuat saya tidak merasa sakit. Tubuh
saya basah dengan keringat. Beberapa yard lagi, saya sudah
dapat melihat ujung jalan. Saya
beristirahat sebentar
dan mempertajam telinga dan mata saya. Tidak ada suara
sama sekali. Tidak ada yang mencurigakan. Sekitar tiga
atau empat langkah lagi saya sudah berada di jalan.
Saya melihat sekeliling, Tidak ada orang.
Namun saya tetap
berada di jalan selama beberapa menit. Saya berdiri, dan
berjalan cepat ke seberang dan menghilang
dalam ilalang.
Saya terus berjalan. Luka mulai terasa pedih, saya
ikat dengan baju. Saya terus berjalan dengan mengamil lintasan
yang saya kenal. Sementara berjalan
saya memperkuat
ikatan kepala saya dan
luka berhenti mengeluarkan
darah. Saya selalu waspada, takut bertemu Fretilin
yang tak terduga atau seorang penjaga Fretilin terpisah
dari kelompoknya. Dengan terus mengikuti jalan- jalan setapak biasanya dan jalan ternak
saya menuju Rotuto,
dimana mertua saya tinggal.
Setelah saya merasa cukup jauh, saya
berhenti untuk beristirahat
karena sekujur tubuh saya terasa sudah sakit. Saya
berbaring terlindung oleh ilalang yang tinggi-tinggi. Dalam
benak saya hanya ada keinginan untuk hidup. Segala sesuatu
masih nampak seperti mimpi, tidak nyata. Setelah terasa
lebih nyaman saya berdiri, dan terus berjalan.
Ketika saya akhirnya sampai ke rumah
mertua saya di Rotuto,
hari sudah larut malam. Dengan mengendap-endap agar
tak bersuara, saya mendekati rumah itu. Anjing-anjing mulai
menyalak, namun ketika mereka mengenali saya, mereka berhenti
dan mencium tangan saya. Kemudian, saya perlahan mengetuk
pintu. Pertama kali tidak ada jawaban, saya ketuk lagi.
"Siapa itu", mereka bertanya dari dalam.
Dengan penuh
rasa takut saya jawab perlahan: "Ini saya, Moniz, tolong
bukakan pintu". Kembali sepi, tidak ada
suara langkah
kaki. "Ini saya, buka pintunya", kata saya lagi. Kemudian
terdengar suara-suara di dalam. Saya mendengar langkah-langkah
kaki mendekati pintu, dan pintu dibuka. Saya
masuk melayang seperti seekor kucing. Mertua dan isteri
saya terngaga keheranan melihat saya seolah-olah saya
ini hantu. Namun keheranan ini hanya berlangsung beberapa
detik. Pintu ditutup. Semua ingin memeluk saya secara
bersamaan. Saya memberikan tanda-tanda dengan jari saya,
jangan ribut. Kemudian saya memeluk erat isteri saya tercinta
dan kami berdua mulai terisak-isak. Dan semuanya kemudian ikut menangis. Kami menangis bahagia saat itu, kami
menangis karena akhirnya kami dipertemukan kembali. Kami
menangisi kecemasan dan penderitaan.
Oh Tuhan, ....!
Tak seorang pun mengajukan pertanyaan.
Keadaan tubuh saya yang penuh bekas luka dan memar
sudah merupakan jawaban terhadap
pertanyaan- pertanyaan
yang ada dalam benak mereka. Kemudian saya mendengar
suara-suara dari dapur. Isteri saya melepaskan perban-baju
di kepala saya dan dia memeriksa lukanya. Kemudian
dia menggandeng saya ke kamar mandi dan dengan handuk
basah membersihkan tubuh saya. Dengan hanya memakai sarung
saya duduk di ruang makan. Kemudian isteri saya pergi
ke dapur dan kembali membawa air panas. Dibantu oleh ayahnya,
isteri saya membersihkan luka dengan sangat hati- hati
dan mengoleskan obat dan memakaikan perban.
Setelah mengobati luka saya,
mereka menghidangkan makanan
hangat, meskipun hanya sedikit namun
cukup menambah
kekuatan saya. Saya tidak makan sedikitpun selama beberapa
hari. Kemudian saya tertidur. Namun saya tidak tidur
nyenyak. Saya masih ingat eksekusi mengerikan di Hat-Nipa,
dimana semua teman saya dibantai. Terkadang saya terbangun
gemetar ketakutan. Hanya melalui keajaiban saya bisa
lolos dari drama berdarah yang mengerikan
itu. Ledakan
keras di dekat telinga saya. Terguling-guling menuruni
jurang, saya tidak bisa tidur. Saya membuka mata saya
dan semua orang yang saya cintai menunggui saya, seolah-olah
mereka menunggu orang yang sedang sekarat. Dari mata mereka, saya melihat mereka semua
mencintai saya,
dan mereka menyuruh saya untuk tidur. Tapi saya tidak
bisa tidur. Eksekusi mengerikan di Hat-Nipa masih membayang
di benak saya.
Sejalan
waktu, saya semakin tenang dan pikiran saya mulai
tertata. Saya masih ingat ketika
orang-orang Fretilin
menggunakan senapan-senapan "Mauser"
untuk menembak
teman-teman saya yang malang di
Hat-Nipa. Senapan-senapan
tersebut dibawa oleh mantan sersan Jose Alexandre
Gusmao, Tome Sea-Coli dan seorang Fretilin lainnya,
Antonio, yang di Same bertugas sebagai penjaga penjara.
Saya juga ingat Tome yang menarik platuk yang membunuh
saya. Pemandangan yang saya saksikan dengan mata saya
sendiri terus melintas seperti dalam film. Sekali lagi
saya menutup mata saya. Akhirnya saya tertidur juga.
Ayam berkokok, burung-burung
bernyanyi, hari pun mulai
merekah. Suatu hari baru, saya sadar dan masih hidup sepenuhnya.
Mereka menyuguhi saya kopi dan makanan ringan. Kehadiran
saya di rumah mertua saya bisa membahayakan jiwa mereka,
termasuk isteri saya. Orang-orang Fretilin ada di mana-mana.
Pada jam 7 pagi, saya
berbaring di tempat tidur, mengistirahatkan
tubuh saya yang hancur tersiksa. Saya merasakan
sesuatu terjadi di depan pintu. Apakah itu Fretilin
dalam pencarian mereka dari rumah ke rumah? Saya menjadi
takut. Saya mendengar orang-orang berbicara dengan suara
rendah dan lebih berhati-hati,
telinga saya menangkap suara ciuman. Siapakah yang datang? Tiba-tiba, seperti
seorang aktor memasuki panggung, saudara ipar saya Bento
Dos Reis Fernandes yang juga seorang tawanan muncul di
depan saya. Kami berpelukan. Kemudian kami bergandengan ke
ruang makan. Sanak keluarga saya sibuk
menyiapkan segala
sesuatu di meja makan. Saudara ipar saya makan seperti
seekor babi. Saya biarkan dia makan
tanpa mengganggu.
Setelah itu saya bercerita kepada saudara ipar saya
tentang semua event, seperti saya
lolos dari cengkeraman
Fretilin, semua penderitaan selama di penjara hingga
malam saya merasakan kematian. Pada gilirannya saudara
ipar saya menceritakan penderitaannya di penjara dan
event-event lain yang saya anggap perlu disebutkan di sini.
Pada tanggal 27 Januari '76,
menurut saudara ipar saya,
para tawanan yang dibawa ke Hola-Rua, kembali pada hari
yang sama dan ditawan di "Motel". Pada tanggal 29, orang-orang
Fretilin memisahkan 25 tawanan dan menaikkan mereka
ke atas truk. Mengenai tempat tujuan orang-orang ini,
saya mendapatkan laporan dari seorang yang selamat. Menurutnya,
25 orang tersebut secara keseluruhan tangannya diikat
ke belakang. Kemudian mereka dinaikkan truk yang diparkir
di depan penjara (Motel). Lalu kendraan menuju ke sungai,
dan para tawanan tahu bahwa mereka akan dibunuh. Dalam
truk juga ada empat penjaga bersenjata. Pada suatu saat
seorang tawanan entah bagaimana dapat melepaskan ikatan
dan mulai melepaskan ikatan teman-temannya. Dan orang-orang yang ikatannya sudah terlepas
membantu melepaskan
ikatan orang-orang lain dan seterusnya. Segala sesuatu
dilakukan dengan sempurna tanpa diketahui para penjaga
yang mengawasi. Ketika kecekpatan truk diturunkan untuk
menikung, para tawanan menubruk para penjaga, mengambil
senjata mereka dan lari memasuki perkebunan kopi.
Dalam pelarian tersebut, Lino Pereira
kurang beruntung
dan dia mengakhiri hidupnya di sana. Kakinya cidera
karena melompat dari truk. Dia menghabiskan waktu terlalu
banyak untuk bangun. Kelambatan
tersebut memungkinkan
sebuah kendaraan ringan yang sudah sampai lebih
dahulu kembali untuk missi menangkapnya.
Dia berusaha
untuk lari namun malang nasibnya dia tertembak. Para
pelarian yang saat itu berlari membawa
senjata, mendapatkan
nasib baik, memanfaatkan setiap tikungan dan semak.
Para penjaga Fretilin tidak berusaha mengikuti mereka,
dibingungkan oleh kesemberonoan mereka,
dan mungkin
takut, karena para pelarian membawa senjata. Empat penjaga
dieksekusi karena missi mereka gagal. Diantara 25 pelarian,
saya hanya ingat nama-nama Lino
Pereira (terbunuh),
Mateus De Araujo, seorang tokoh Apodeti di Ataudo,
sudah bersama kami, Miguel dan John Carceres. Sebagai
suatu catatan kami tambahkan bahwa
beberapa pelarian
ditangkap kembali oleh Fretilin dan kemudian dibunuh.
Setelah rincian peristiwa
di atas, kami memulai kesaksian
saudara ipar saya Bento ketika masih di penjara "Motel". Dia mengatakan kepada saya bahwa pada tanggal 29 Januari,
malam hari, dalam hari peristiwa pelarian 25 orang
yang sama, para tokoh dan komandan Fretilin membahas situasi
tersebut dalam pertemuan panjang, yang memutuskan membunuh
teman kami dalam dua penjara "Motel" dan "Pasar", dengan
melemparkan granat tangan dan menyapu
segala sesuatu
dengan suatu tembakan senjata otomatis. Karena terkejut,
banyak tawanan bahkan tidak tahu bahwa mereka sedang
sekarat. Lain-lainnya seperti saudara ipar saya Bento,
Ferrao (seorang Kapten partisan), Jose Caldas, yang meloloskan
diri pada ledakan-ledakan dan tembakan pertama, lari
ke jendela-jendela yang daun-daunnya sudah terlepas, memecah
kaca, melompat keluar dan berlari ke semak-semak. Dengan
berhati-hati mereka menjauh dari kota. Saudara ipar saya
menuju ke arah Rotuto, tempat mertua saya. Kapten Ferrao
mendapatkan perlindungan di rumah temannya, dan lainnya
hanya terlunta-lunta dalam semak-semak hingga bertemu
pasukan gabungan. Saudara ipar saya
Bento mengatakan
bahwa, mungkin tidak ada lagi tawanan yang bisa lolos dari pembunuhan massal.
Dia menambahkan bahwa Fretilin
sudah memutuskan untuk memusnahkan para tawanan sebagai
balasan terhadap larinya 25 orang tawanan.
Diliputi dengan kerahasian dan
kehati-hatian sangat tinggi,
saudara ipar saya Bento, dan saya hanya tinggal sepuluh
hari. Kami harus segera pergi, karena
berita kelompok-kelompok
Fretilin terus menyisir semak-semak berusaha
menangkap kembali 24 orang yang lari pada tanggal 29 Januari. Kelompok-kelompok lain sedang
menyelidiki rumah-rumah
untuk tujuan yang sama. Dengan mengetahui itu, kami
memutuskan untuk meninggalkan daerah mertua saya. Dalam
perlindungan malam, dengan rasa sakit luar biasa kami
mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang kami
cintai, berangkat masuk hutan. menuju ke
daerah gunung
Kablak. Kami mencapai daerah tersebut
tanpa kesulitan,
dan tinggal di sana selama 25 hari. Dalam pada itu
kami menghubungi orang-orang yang dapat kami percaya. Kami
ketahui bahwa pasukan gabungan sudah memasuki kota Ainaro
pada tanggal 22 Februari dan mereka memblok semua jalan
dan daerah-daerah sekitarnya berada di bawah kontrol mereka.
Pada waktu yang sama pasukan-pasukan kami juga sudah
memasuki Same dari Betano. Dengan demikian, memaksa Fretilin
untuk menyelamatkan diri, mencari perlindungan di daerah
Kablak. Karena fakta ini, maka tempat persembunyian kami
menjadi berbahaya bagi kami dan kami memutuskan untuk pergi
ke Ainaro.
Dalam periode singkat kami menjadi
tahu posisi dan strategi
Fretilin, sehingga kami bisa menghindari suatu pertemuan
dengan mereka, dengan mengambil jalan-jalan pintas,
selalu pada malam hari. Akhirnya kami sampai di Ainaro
pada tanggal 12 Maret 1976. Kami disambut oleh pasukan
gabungan dengan segala perhatiannya.
Setelah observasi
kami diberi makan, pakaian dan sepatu. Saya bisa katakan
itu merupakan suatu bantuan persaudaraan riil dari mereka,
yang mengorbankan jiwanya untuk membebaskan kami dari
tindasan Fretilin.
Karena Bapak Moniz Maia dan Bapak
Januario Carvalho memiliki
tempat-tempat tujuan berbeda
maka kami mengetengahkan
yang terakhir ini untuk
mengulangi
kesaksiannya:
"Pada tanggal 31 Desember 1975,
sekitar pukul 8 pagi, sebuah
truk yang membawa lima orang Fretilin bersenjata, yang
dipimpin oleh mantan Sersan Manuel Pereira yang pada waktu
itu menjadi komandar militer Fretilin di Ainaro, mantan
Kopral Afonso dan Constantino tiba di depan penjara (motel).
Di depan pintu, Manuel Pereira memanggil nama- nama
38 tawanan dan membariskan mereka di luar. Ketika mereka
dipanggil, mereka menatap kami semua, seolah-olah memperingatkan
kami, jangan melupakan janji
untuk bercerita
kepada sanak keluarga tentang penderitaan dan tanggal
Fretilin menembak mereka. Pada waktu itu, suatu panggilan
berarti kematian. Setelah apa yang terjadi terhadap
teman-teman kami yang di pinggir sungai Same, kami
menganggap mereka akan mengalami akhir yang sama. Jika
sebelumnya kami sering berdo'a, maka terakhir kami berdo'a
24 jam kepada Tuhan, karena orang-orang yang mati terkutuk
tidak memiliki harapan. Pada hari yang sama, melalui
orang-orang sipil yang membawakan kami makanan, kami
memohon agar Bapak Mariano datang menjenguk kami agar kami
dapat menghapuskan dosa-dosa kami dan siap untuk kematian.
Sebagai suatu catatan saya ingin mengatakan bahwa
Bapak Mariano diperbolehkan melaksanakan Missa di dua penjara tersebut dengan menggunakan pengeras suara, dia
berada di luar dan para tawanan di dalam penjara. Cara baru
yang direkacipta Fretilin. Sekali pun demikian, Bapak Mariono
tidak menyerah. Dia melakukan semua tugasnya tanpa mengindahkan
kesulitan-kesulitan yang diciptakan Fretilin.
Dalam Missa, ketika sampai
saatu untuk memberikan Perjamuan
Suci, para penjaga pastor di dalam.
Kembali ke tanggal 31 Desember 1975.
Dalam memenuhi permintaan kami,
Bapak Raphael, yang dikawal
ketat, tiba di penjara pada pukul 4 pagi. Kami tahu
pada hari berikutnya, bahwa pastor yang baik tersebut mengalami
perdebatan sengit dengan para tokoh Fretilin untuk
mendapatkan ijin mengunjungi kami.
Orang-orang Fretilin
melalui ancaman-ancaman ingin
menghindari kunjungan
pastor tersebut dengan segala cara. Seseorang mengatakan
kepada saya bahwa pada suatu tahap tertentu Bapak
Raphael mengatakan kepada para tokoh Fretilin: "Saya akan
mengunjungi orang-orang yang mengundang saya. Saya tidak
peduli apakah mereka berada dalam penjara
atau tempat
lainnya. Saya akan ke sana dengan atau tanpa ijin anda.
Saya hanya patuh kepada Tuhan dan para atasan saya dalam
Gereja. Jika anda ingin membunuh saya
dalam perjalanan,
anda boleh melakukannya, namun anda tidak bisa melarang
saya mengunjungi orang-orang saya".
Seraya berkata
begitu, dia berdiri dan pergi.
Dengan demikian kami
bertemu dia di sana. Dari beranda
dia berbicara pada kami dengan
menggunakan pengeras suara. Suaranya sungguh menyejukkan hati kami. Bapak
Raphael mengatakan pada kami, karena tidak mungkin untuk
mendengar pengakuan dari setiap orang, maka dia meminta
kami untuk mengingat dosa-dosa kami, kemudian memohon
ampun kepada Tuhan. Dengan demikian, itu kami lakukan.
Akhirnya, para penjaga membuka pintu
dan mengizinkan
Bapak Mariano masuk, memberikan tanda salib suci
di kepala kami. Kemudian dia keluar, kami
masih sempat
melihat linangan air matanya.
Kini, kami sudah siap. Saya merasa
jauh lebih baik.Sekarang
kami boleh mati kapan saja, namun saya tidak bisa berpikir
mengenai orang-orang yang saya cintai. Mungkin, saya
tidak akan pernah melihat mereka lagi.
Pada tanggal 1 Januari 1976, tahun baru,
banyak orang yang
dari bertemu dengan Bapak Mariano, membawakan kami makanan
enak.
Ketika kami makan,
kami memperoleh kesempatan mendengar
dari orang-orang sipil tentang apa yang sedang berlangsung
di luar penjara. Mereka mengatakan bahwa, sikap
Bapak Mariano, telah banyak menyentuh hati para tokoh
Fretilin, sehingga mereka mengatakan bahwa mereka akan
mengobati para tawanan. Mereka juga mengatakan bahwa Nicolau
Lobato sudah mengadakan suatu pertemuan massa untuk
menyatakan bahwa, pembantaian yang dilaksanakan di sungai
tanpa sepengetahuan Komite Sentral Fretilin (FCC) dan
dia menambahkan bahwa orang-orang yang bersalah akan dihukum. Seperti halnya kami, mayoritas penduduk
tidak mempercayai
kata-kata Nicolau, karena, pada hari yang sama dia
memerintahkan tahanan rumah terhadap Bapak Mariano. Kata-kata
dari para tokoh Fretilin tidak akan meyakinkan siapa
pun.
Pada tanggal 2 Januari 1976,
mantan sersan Manuel Pereira
kembali ke penjara kami pada tengah hari, yang diiringi
oleh mantan Kopral Capriano De Araujo, mantan sopir
Jose dan dua orang lainnya, saya tidak tahu namanya. Sebagaimana
pada tanggal 31 Desember, Manuel Pereira, memanggil
nama-nama dari suatu daftar, termasuk saya. Nama-nama
tersebut masih saya ingat: Jose Trindade dari Ermera,
Manuel De Almeida, Bere-China, Albino-Barros, Gabriel
Trinoade dan Araujo de Jesus. Satu per satu kami menuju
beranda. Sebuah "Unimog" diparkir di depan penjara. Tiga
penjaga bersenjata diposisikan mengawasi kami. Manuel Pereira,
kemudian pergi, mungkin Same. Seseorang yang datang
bersama Pereira mengatakan kepada kami, kami akan dipindahkan
ke Ainaro. Setelah begitu banyak kebohongan, kami
tidak percaya lagi dengan kata-kata mereka. Namun kami
percaya bahwa kami akan dibunuh di sungai, ke mana kami
sudah dipersiapkan. Kami berdo'a.
Kami sudah memberikan
pengakuan. Bersama Tuhan kami tidak takut mati. Kami
diperbolehkan duduk. Dalam waktu menunggu
yang menyedihkan
tersebut, sekali lagi saya berpikir tentang orang-orang
yang saya cintai dan teman-teman saya, yang tentu
saja tidak akan pernah saya lihat lagi. Ini tak terelakkan.
Hanya orang-orang seperti saya dan lain- lainnya yang jatuh ke tangan Fretilin dapat menghapuskan kecemasan
dan kesedihan pada saat-saat pemanggilan dan menunggu
yang sangat mempengaruhi kami.
Fretilin, saya tidak tahu bagaimana
mereka belajar menguasai
diri dalam menyiksa korban-korban
mereka. Memanggil,
menunggu, membawa para tawanan ke tempat-tempat pembunuhan
dan kemudian, mereka mengatakan "Lebih baikuntuk
kami mati besok" dll. Itu akan
menghancurkan seseorang
secara psikologis. Saya merasa, bahwa itulah saat-saat
terakhir kehidupan kami.
Pikiran-pikiran tersebut terganggu
oleh kembalinya Manuel
Pereira dan kelompoknya. Dengan perut kosong, hanya makanan
kecil sehari sebelumnya, kami diperintahkan oleh Manuel
Pereira untuk naik "Unimog". Ini terjadi sekitar pukul
5 sore. Mobil disetir oleh Manuel sendiri.
Dua orangnya
duduk bersamanya dalam kabin, dan lainnya duduk bersama
kami. Kendaraan menempuh jalan Same-Ainaro. Apakah itu
tujuan kami sebenarnya?
Apakah orang-orang Fretilin tidak akan
mempersiapkan suatu
simulasi? Kendaraan terus melaju di jalan Ainaro dengan
kecepatan sedang. Para penjaga yang bersama kami duduk
diam, begitu juga kami. Masing-masing
mungkin berpikir
tentang apa yang paling mereka
takutkan. Akhirnya,
tanpa suatu insiden kami sampai di kota Ainaro pada
pukul 11 malam. Mobil diparkir di depan
Akademi Kepandaian
Putri, yang sekarang dirubah menjadi penjara. Kami
diperintahkan untuk masuk, kejutan
apa yang
dipersiapkan untuk kami. Kami tidak percaya
dengan penglihatan
kami. Di dalam, antara lain, kami melihat teman-teman
kami yang dibawa dari Same pada tanggal 31 Desember.
Kami menganggap mereka sudah mati.
Kami berpelukan
satu sama lain seperti bertemu seorang saudara, yang
dikira sudah mati.
Kami semua ingin tahu apa yang
terjadi sejak kami dipisahkan.
Kami menceritakan kejadian-kejadian di Same. Pada
giliran mereka, teman-teman kami bercerita kepada kami
apa yang terjadi dengan mereka.
Mereka mengatakan kepada kami, bahwa
Manuel Pereira, Komandan
Fretilin Ainaro, telah memerintahkan Nicolau Lobato
selama kunjungannya di sana, untuk memindahkan semua
tawanan kelahiran Ainaro atau dengan sanak keluarga di
Ainaro ke penjara-penjara di sana, dengan mengatakan, itu
adalah keinginan warga setempat yang telah meminta Pereira
sebelum Nicolau Lobato menyetujui
permintaan Pereira
dan berkat dialah kami semua berada di sana, masih hidup
dan ada harapan untuk selamat. Kami bertanya tentang Luiz
Dos Reis Araujo, yang kami ketahui
berada di Rumahsakit
Ainaro Ketika di Alto-Flecha, karena agresi brutal
di Maubisse, dia tidak bisa berjalan dan dibawa mobil
ke kota Ainaro. Mereka katakan, Luiz R.
Araujo sekarat
ketika tiba di Ainaro. Ketika dia dikelilingi oleh para
eksekutornya, Domingos Pereira dan kelompoknya, Luiz mengatakan
kata-kata terakhir ini: "Saya tahu bahwa darah saya
dan semua teman saya yang tertumpah di atas pulau Timor ini pasti untuk bendera merah putih
yang akan berkibar
di atas pulau ini. Komunis pada akhirnya akan tunduk.
Kami tidak akan mati semuanya. Teman-teman kami yang
selamat akan menceritakan apa yang anda
lakukan terhadap
kami".
Mendengar
nama Luiz Araujo, orang-orang Fretilin ingin
segera menghabisinya, namun dicegah oleh
staf rumahsakit,
yang meminta mereka pergi. Sendiri, Luiz meninggal
dalam damai. Pada akhirnya jazadnya beristirahat dari
semua penderitaan berat dan mengerikan. Dia adalah korban
para agresor Fretilin.
Kemudian, kami mulai
menyesuaikan diri. Kami tahu bahwa
teman-temanu kami, sejak mereka berada di penjara ini,
boleh kami katakan, telah menerima perlakuan sangat baik
dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan sebelumnya di penjara-penjara
lain. Informasi ini benar. Kami menerima makanan
yang kurang-lebih baik dengan kuantitas rerata. Dalam
penjara baru tersebut, kami diherankan oleh tidak adanya
sessi-sessi penyiksaan yang tak manusiawi, biadab.
Pada tanggal 4 Januari,
kami mendapatkan berita mengerikan
bahwa eksekutor kami Domingos Pereira berada di Ainaro.
Dengan hati waswas, kami ingin tahu apa tujuan kedatangan
orang sadis itu ke Ainaro.
Berita itu diinformasikan
oleh salah seorang penjaga kami. Beberapa jam
kemudian, para penjaga yang sama, mengatakan kepada kami,
bahwa Domingos Pereira ingin minta ijin
dari Komandan
Fretilin lokal untuk membawa Bapak
Lucia Encarnacao kembali ke Maubisse untuk
diadili oleh "Fretilin
Ministers Council" (Dewan Menteri Fretilin). Permintaan
tersebut ditolak oleh Komandan Manuel Pereira dan
didukung oleh mantan Kopral Afonso Neves,
yang mengatakan
bahwa tinggalkan kota ini. Domingos Pereira, dalam
menghadapi penolakan tegas dari kedua orang itu, menjadi
nervous dan berusaha untuk membujuk keduanya, namun
itu tidak merubah pendirian mereka. Dalam diskusi- diskusi,
Afonso Neves mengatakan: "Para pemimpin kami terus
mengatakan setiap saat bahwa kami harus berjuang untuk
kemerdekaan. Namun jika kita terus membunuh setiap orang,
maka siapa yang akan mengerjakan lahan kita? Anda sendiri?
Dengan argumen ini
pun Domingos Pereira tidak menyerah,
betapa besar keinginannya untuk membunuh Bapak Lucio.
Dia pergi meninggalkan pertemuan dengan wajah masam dan
berjanji untuk kembali lagi.
Bapak Lucio Encarnacao mengetahui
peristiwa tersebut dan
kami menasehatinya untuk mensimulasi suatu serangan jantung.
Dengan berteriak, kami memanggil para penjaga, mengatakan
bahwa teman kami sakit parah. Kami tahu bahwa di
rumahsakit Bapak Encarnacao akan lebih
terlindung terhadap
ide-ide pembunuhan dari Domingos Pereira. Itu terkabul.
Teman kami diopname hingga tanggal 30 Januari.
Pada tanggal 31 Januari, banyak orang
Fretilin muncul di
Ainaro, yang dipimpin oleh mantan Letnan Guido. Kami mengetahui
mereka akan bertemu dengan komandan militer Fretilin
Ainaro untuk mencari pemecahan terhadap para tawanan
Ainaro.
Kami selalu diberi informasi oleh
beberapa penjaga, kami
boleh menghadiri sessi-sessi pertemuan.
Dalam pertemuan
pertama suara terpecah dalam dua faksi, satu, mayoritas
yang tidak setuju dengan pemusnahan
para tawanan,
dan kelompok lain yang menginginkan pemusnahan sepenuhnya.
Diskusi-diskusi berlangsung selama berjam-jam. Kedua
faksi mempresentasikan opininya. Karena opini-opini tidak
mencapai kesepakatan, maka pimpinan, mantan Letnan Guido,
menunda pertemuan pada hari berikutnya. Kelompok yang
menentang pemusnahan dipimpin oleh Manuel Pereira, dan
kelompok lain untuk pemusnahan dipimpin oleh Domingos Pereira.
Pada tanggal 1 Februari 1976, Tokoh
sadis Guido dan boneka-bonekanya
memulai lagi pertemuan untuk memutuskan nasib
kami. Guido, yang ingin mengakhiri pertemuan dengan cepat,
mengusulkan untuk mengambil keputusan
dengan voting.
Kemudian, ini dilakukan. Hasilnya tak terelakkan, mayoritas
memberikan suara menolak pemusnahan
dan pemindahan
para tawanan dari Ainaro, yang membuat Domingos Pereira
dan para pendukungnya sangat marah.
Dalam pada itu,
Guido, untuk menyelesaikan permasalahan
dengan cepat, bertanya pada Manuel Pereira apakah
semua tawanan U.D.T. atau Apodeti. Mantan Sersan Manuel
Pereira berbohong, dengan mengatakan bahwa semuanya U.D.T.,
meskipun dia tahu bahwa banyak tawanan, misalnya
saya sendiri, adalah Apodeti. Maka, Guido berkata, karena sebelumnya
U.D.T. berjuang untuk kemerdekaan, maka menurut pendapatnya
semua tawanan harus dimaafkan. Karena orang- orang
yang hadir hanya kaki tangan Domingos maka dia dapat mempertahankan
posisi awalnya. Guido memerintahkan bahwa semua
tahanan di Ainaro dibebaskan dan dipulangkan. Namun, mengenai
Lucio (Mantan Administrator dalam Pemerintahan Kolonial
Portugis) Guido mengatakan, orang tersebut akan tetap
ditahan hingga keputusan-keputusan baru, karena dia harus
menghadapi pengadilan rakyat (popular justice).
Dengan mengetahui keputusan akhir, Lucio
Encarnacao, yang
sudah kembali ke penjara pada tanggal 30 Januari, menjadi
sangat sedih, tersiksa oleh ide bahwa
segera Fretilin
akan membunuhnya.
Manuel Pereira dan
Afonso Neves, dengan menerka maksud
pemimpin Fretilin mengenai Bapak
Encarnacao, memutuskan
untuk menyembunyikannya. Mereka menyembunyikan Bapak
Encarnacao di sebuah batu karang (coral).
Hari-hari berikutnya,
suatu kelompok Fretilin mendatangi
komandan militer Ainaro untuk mengatakan mereka mendapatkan
perintah dari para pemimpin untuk membawa Bapak
Lucio Encarnacao. Manuel Pereira, pada waktu itu lmenjadi
komandan Ainaro, mengatakan kepada mereka bahwa Bapak.
Encarnacao sudah dibawa hari sebelumnya oleh suatu kelompok
lain. Kebohongan tersebut menyelamatkan jiwa teman
kami Lucio Encarnacao.
Pada tanggal 22 Februari
pasukan gabungan tiba di Ainaro, akhirnya kami bisa
bernapas lega. Kami diselamatkan.
Kami adalah segelintir orang yang selamat dalam
melarikan diri dari Fretilin. Manuel Pereira tidak lari.
Namun boneka-boneka Fretilin seperti Guido Soares, Domingos
Pereira dan lain-lainnya yang berani di hadapan para
tawanan tak bersenjata lari seperti kucing ketakutan. Pasukan-pasukan
gabungan bahkan tidak menembakkan satu peluru
pun. Sejak jam-jam pertama, saya berusaha dengan pasukan-pasukan
kami untuk memberikan semua perlindungan yang
perlu terhadap Manuel Pereira, karena dia saya masih hidup.
Sekarang ini, Manuel Pereira tinggal di Ainaro menjalankan
usahanya dengan bebas.
TTD
Januario