Senin, 27 Mei 2013

EYE WITNES - KESAKSIAN JANUARIO DE CARVALHO


KESAKSIAN JANUARIO DE CARVALHO


     Saya  dan teman-teman Apodeti saya, yang  ditahan  di Dili  di  bangunan museum, dipindahkan dari  sana,  dimana kami  dikurung  sejak  bulan  Oktober  ke  penjara-penjara markas  umum  di Taibesse, pada tanggal 2  Desember  1975. Kami   bergabung  dengan  para  tawanan  UDT,   Kota   dan Trabalhista  yang  sudah di sana sejak bulan  Agustus  dan September 1975.

     Dengan  kelompok besar kami sel menjadi penuh  sesak, dalam  keadaan  seperti ini kami tidak bisa  bergerak  dan kami  tidur  berdiri  karena ruangnya  tidak  cukup  untuk bahkan  untuk mendapatkan posisi duduk. Biasanya  di  pagi hari  para  penangkap  kami  membuka  gerbang  besi  untuk memungkinkan  kami memasuki emperan kecil  berpagar  kawat kasa  dan  bagian  atasnya  ditutup  kawat  berduri.  Para penjaga  Fretilin yang diperlengkapi dengan senjata  mesin (submachine)  berada  di  luar  mengawasi  gerakan-gerakan kami.

      Pembagian makanan juga berlangsung di emperan  tersebut, dan sebagaimana biasanya itu dengan suatu porsi  yang sedikit  sekali.  Minggu-minggu  sebelumnya,  para   tokoh Fretilin  sudah menghentikan semua kunjungan  ke  penjara- penjara  dan  rumahsakit-rumahsakit, dimana  banyak  teman kami  diopname  karena  luka-luka  berat  akibat  siksaan- siksaan  yang kami terima. Dengan  penghentian  kunjungan- kunjungan, sanak keluarga dan teman-teman kami tidak dapat  membawakan makanan, sebagaimana sebelumnya, untuk kami.

      Meskipun kami mendengar banyak spekulasi dari  pengawal  yang  selalu mengancam kami namun  kami  tidak  yakin dengan  keselamatan  kami. Dalam inkognito  (samaran)  ini kami  dipertahankan hingga tanggal 7 Desember  1975.  Satu pagi  dini  hari  kami  mendengar  letusan-letusan   keras senjata-senjata berat dan rentetan-rentetan senapan  mesin yang tiada henti. Meskipun kami tidak tahu apa yang sedang berlangsung di Dili, namun hati kami mengatakan,  pasukan- pasukan  kami sudah tiba di Dili dan konsekuensinya  kebebasan kami sudah pasti.

     Sekitar  pukul  8  pagi  orang-orang  Fretilin   yang meninggalkan  lembah-lembah  kota,  berkonsentrasi   dalam kelompok-kelompok sekitar Taibessi hingga Rumahsakit untuk menahan laju pasukan-pasukan kami. Di Markas Umum Taibessi Milisia  Fretilin berjumlah ratusan. Orang-orang  Fretilin melipatgandakan  pengawasan terhadap para tawanan.  Sepan- jang  pagi,  gelombang-gelombang  berkesinambungan  orang- orang Fretilin keluar masuk dari kam Militer Taibessi.

      Sekitar  pukul  2 sore, kami mulai  melihat  kesalahpahaman  dan  kekacauan  diantara  orang-orang   Fretilin. Diantara teriakan-teriakan histeris perintah dan larangan, orang-orang  Fretilin  mondar-mandir  kebingungan  seperti orang  gila,  di tengah-tengah teriakan  dan  tembakan  di semua arah, kemudian lari dari markas; lain-lainnya berada dalam  posisi siap tempur sekitar markas. Semua  ini  bisa kami  lihat melalui jendela-jendela berkisi sel-sel  kami.  Beberapa  penjaga  yang ingin menyerah  mengatakan  kepada kami   bahwa  beberapa  pemimpin  mereka  sudah  lari   ke perbukitan.  Para pemimpin lainnya, khususnya  orang-orang eks-militer, masih berada di Dili, berusaha untuk  mengor- ganisir pertahanan. Namun sebelum mereka bisa melakukannya orang-orang mereka sudah lari seperti anjing melolong  dan berteriak  ketakutan. Diantara para pemimpin mereka  hanya satu  yang dapat menenangkan orang-orang  yang  ketakutan. Dialah  Nicolau  Lobato, yang  menenangkan  orang-orangnya yang  sok, mengajak mereka ke penjara,  dan  memerintahkan pintu-pintu   dibuka  dan  memerintahkan  kami   berbaris. Setelah  berbaris  dia berkata kepada  kami  "Apakah  anda ingin mati sekarang dengan "berondongan" atau bekerja sama dengan kami?"

     Banyak  diantara  kami, dengan  harapan  bahwa  suatu kesempatan  mungkin  muncul untuk  lari,  menjawab  kepada Nicolau bahwa kami menerima kerjasama. Salah satu  saudara si pemimpin, Antonio Lobato nampak di tempat itu,  matanya penuh  dengan  kebencian.  Dia  bertugas  sebagai   Polisi Militer.  Diperlengkapi  dengan sebuah  senjata  automatic     G-3, dia mengisi senjata tersebut dan berkata dengan suara lantang  bahwa  dia akan membunuh kami;  namun  saudaranya Nicolau  melompat menghalanginya dan merebut senjata  tersebut serta membawanya pergi, dan memperingatkannya.

     Setelah  insiden yang bisa mengancam jiwa  kami  ini, kami dibawa ke beberapa tempat di Markas tersebut,  dimana mereka mendistribusikan kotak-kotak amunisi dan  kontainer  "persenjataan"  lainnya. Dua orang dipaksa  untuk  membawa sebuah kotak amunisi yang beratnya mencapai 60 pound.

     Setelah  distribusi  kami dibariskan  dua-dua  dengan seorang  Fretilin  di  tengah dan banyak  yang  berada  di sekeliling  mengawasi  kami. Kami  melalui  jalan  setapak berbaris  menuju jalan Dili-Aileu, terus  berjalan  dengan bentakan-bentakan  agar  berjalan  lebih  cepat  sementara keadaan  kami  semakin melemah karena membawa  beban  yang demikian  berat.  Dalam  kondisi yang  sangat  lelah  kami sampai  di perkebunan kopi Costa Alves di Balibar, 10  mil jauhnya  dari  Dili sekitar 400 meter  di  atas  permukaan laut.

     Catatan:  Sebagai informasi untuk para  pembaca  yang tidak  mengenal kawasan tersebut, jalan penghubung  antara Dili-Aileu terus mendaki hanya sedikit turunan dan sekali- sekali  mendatar,  yang  berdebu  selama  musim   kemarau, berlumpur  dan  licin selama musim  penghujan,  yang  bisa melintasi  jalan  tersebut hanya mobil dobel  kardan  atau kendaraan  militer.  Kami beristirahat di  tempat  terbuka malam  itu.  Karena hari sebelumnya kami tidak  makan  dan lelah  sekali,  kami berbaring di tanah  basah  berlumpur. Kami  hanya memakai baju dan celana pendek  dan  sepanjang malam kami kedinginan, berbaring di tanah seperti anjing.

     Kami hampir tidak bisa mengatupkan mulut untuk  tidak merintih.  Berapa lama lagi kepedihan kami  akan  berlangsung? Saya terbayang orang-orang yang saya cintai.  Dimana mereka  berada? Mereka pasti menganggap saya  sudah  mati. Dengan  memandang sekeliling saya melihat seorang  penjaga bersenjata,  saya bertanya-tanya: "Oh,  saudaraku  mengapa kau  begitu  membenciku? Mengapa begitu  membenciku?"  Dan saya berusaha untuk memastikan, saya menjawabnya  sendiri: "Bukankah saya menginginkan kesejahteraan negeri ini?  Oh, malangnya  kami....  anda, yang  mungkin  menganggap  saya sebagai  teman  dan saudara dalam Tuhan,  kini  anda  akan membunuh  saya jika saya melakukan gerakan  yang  mencurigakan".  Dan  dengan berlinang air mata  saya  mengalihkan pikiran   saya  ke  Tuhan,  berdo'a  dalam  hati   memohon pertolongannya untuk diri saya, untuk semua teman saya dan untuk  orang-orang  yang diperlakukan seperti  kami.  Saya begitu  lelah  dan jatuh kedalam dunia  impian.  Pagi-pagi sekali hari berikutnya, kami diperintahkan berjalan  dalam barisan menuju Aileu.

     Beberapa  menit setelah kami memulai  kembali  perjalanan  hari  mulai  hujan,  pada  mulanya  sedikit.  Namun setelah sekitar lima menit hujan mulai bertambah lebat dan tiba-tiba hujan lebat turun, kami kedinginan hingga tulang sumsum.  Di  alam terbuka tanpa  payung  dengan  bentakan- bentakan untuk terus berjalan, sementara kami sudah hampir tidak bisa berjalan. Sebaliknya para penjaga kami  memakai jas  hujan  dan  hanya membawa  senjata  mereka.  Berjalan mendaki  bermil-mil,  diperlemah karena  lapar,  perlakuan brutal  dan memikul kotak-kotak amunisi, saya sendiri  dan beberapa  teman  senasib  lainnya  berjalan  terseok-seok, terpeleset  kesana  kemari. Segera  setelah  kami  terjauh  banyak  yang  berlari ke arah kami,  memukul  kami  dengan popoer  senjata dan menendang untuk memaksa  kami  berdiri dan  terus  berjalan. Dalam setiap pukulan  popor  senapan para  penjaga  membentak kami dengan  mengatakan:  "Bangun anjing.  Apa  ingin  ditembak  kepalamu?".  Dengan  segala upaya,  kami masih bisa berdiri untuk menghindari  pukulan lebih  lanjut.  Terhadap  kebrutalan  ini,  mantan  kepala pemetintahan  sipil, Pak Mario Santa, yang sudah  tua  dan sakit-sakitan, tidak kuat melakukan itu, dan jatuh  setiap meter  dan  dipukul  setiap kali dia  jatuh.  Dia  meminta binatang-binatang  itu  menghabisinya.  Di  suatu   tempat tertentu  dalam  perjalanan kami tidak  melihat  lagi  Pak Santa.  Kami tidak pernah menjumpainya  lagi.  Belakangan, kami  tahu bahwa teman kami yang malang tersebut  ditembak mati oleh para penjaga Fretilin di suatu tempat  sepanjang jalan Dili-Aileu.

     Tanpa  berhenti untuk istirahat dan terus  berada  di bawah guyuran hujan lebat, pukulan-pukulan popor  senapan, pukulan-pukulan  dan  siksaan-siksaan  bila  kami  memohon untuk  beristirahat,  membuat  kami  baru  mencapai  Aileu sekitar pukul 3 sore. Di sana, dalam formasi militer  kami dimana  kami  melepaskan beban  berat  kontainer-kontainer "persenjataan".  Dari sana kami kembali  ke  gudang-gudang ubi,  yang  berlokasi  dekat  bangunan  pemerintah.  Basah kuyub,  kelelahan dan terhuyung-huyung kami menyeret  kaki kami. Di kedua sisi jalan banyak orang sipil dan  Fretilin bersenjata  menonton  iring-iring kami  yang  menyedihkan.  Orang-orang  berjiwa  rendah  ini  berteriak  kepada  para penangkap  kami  ketika kami lewat, bunuh,  bunuh  anjing- anjing  itu.  Namun untunglah para  penangkap  kami  tidak memenuhi  permintaan publik tersebut, mungkin juga  karena mereka  lelah  setelah perjalanan yang  melelahkan.  Dalam bangunan   yang  penuh  sesak,  kurang  makan  dan   hanya diperbolehkan   sekali  sehari  buang  air   besar.   Kami mengambil kesempatan untuk menghilangkan rasa haus  dengan minum  air  ledeng  dekat toilet-toilet  drum.  Ini  semua berlangsung  hingga  tanggal 9 Desember.  Pada  hari  itu, pagi-pagi  sekali  penjaga penjara  yang  bertugas,  Pedro Aquino,  yang  juga  disebut Komandan,  masuk  ke  penjara gudang dan dengan sombong dia berkata: "Semua tawanan dari Dili keluar untuk mencatatkan namanya di luar....", sambil tersenyum   dia   menambahkan   "Kami   akan   mempermudah perjalanan  anda  dalam  kapal  hitam  atau  dalam  sebuah pesawat tanpa sayap".

     Istilah-istilah   tersebut   kami   ketahui   sebagai peringatan-peringatan tersembunyi bahwa kami akan  dibunuh pada suatu saat oleh orang-orang Fretilin. Banyak diantara kami yang berasal dari Dili menjadi ketakutan, namun  saya sendiri dan puluhan lainnya punya perasaan yang sama, kami siap menerima nasib apapun yang dilakukan oleh orang-orang primitif tersebut. Saya sendiri menganggap bahwa jika saya harus   mati  hari  itu,  itu  akan  menjadi  akhir   dari penderitaan-penderitaan saya.

     Sebelum  kami  berangkat,  kami  titip  pesan  kepada teman-teman  kami yang ada di belakang bahwa  jika  mereka selamat, tolong katakan kepada sanak keluarga kami tentang penderitaan kami dan juga katakan kepada mereka bahwa kami akan mati dengan mengingat Tuhan dan orang-orang yang kami cintai.  Tanpa sikap gentar dan percaya bahwa segera  kami akan bersama Tuhan, kami bisa menahan air mata kepedihan.

     Di luar penjara kami berbaris hingga berjumlah  total seratus sepuluh orang. Empat orang Fretilin mencatat  nama kami dan elemen-elemen identitas lainnya dengan kelambatan yang  disengaja, karena kami berada di bawah  terik  sinar matahari yang membakar. Orang-orang Fretilin menyelesaikan tugas  mereka setelah dua jam lamanya. Tidak lama  setelah diabsen,  kami  naik ke atas dua buah truk,  yang  dikawal oleh orang-orang Fretilin bersenjata.  Kendaraan-kendaraan tersebut   menempuh  jalan  menuju   Maubisse.   Sepanjang perjalanan  kami kumat-kamit berdo'a, berharap dibunuh  di suatu  tempat  dalam perjalanan  tersebut,  namun  semakin dekat  ke Maubisse kami percaya, itulah sebenarnya  tujuan kami.  Kami  mencapai desa itu setelah  tengah  hari,  dan sebagaimana  di  Aileu  orang-orang  Fretilin  menggunakan gudang ubi sebagai penjara, dan di sini pintu gerbang  dan jendela-jendela   juga  dicat  hijau.  Melihat   kecerahan warnanya, nampak bahwa itu baru saja dicat.

     Di Maubisse inilah kami bertemu saudara-saudara  kami para  tawanan  dari  beberapa  bagian  pulau  ini.  Dengan kedatangan kami isi penjara tersebut melebihi jumlah  tiga ratus orang.

     Kembali  ke pernyataan-pernyataan Bapak  Moniz  Maia, yang tinggal di Aileu setelah keberangkatan Bapak Januario De  Carvalho, kami mencatat berikut ini: "Pada  hari  yang sama,   tanggal  9  Desember,  ketika   teman-teman   kami dipisahkan  untuk dibawa ke tempat yang  tidak  diketahui, apa  yang kami temukan kemudian di  Maubisse,  orang-orang Fretilin  semakin kesulitan. Kami melihat  gerakan-gerakan luar  biasa,  karena ada spekulasi  bahwa  pasukan-pasukan kami   berada  dalam  perjalanan  ke  Aileu.   Orang-orang Fretilin  beberapa kali sehari berkumpul dalam  pertemuan- pertemuan  dengan para pemimpin mereka, mulai  tanggal  di atas.  Kami  berharap pasukan-pasukan  kami  tiba  secepat mungkin.

     Kami  masih  mengharapkan kebebasan  kami.  Hari-hari berlalu  dalam  penjara.  Disamping  kebrutalan-kebrutalan biasanya, makananpun menjadi semakin sedikit dan terkadang mereka lupa memberi kami makan.

     Pagi-pagi  sekali  pada tanggal  24  Desember,  Pedro Aquino,  saat  itu,  sebagai kepala  penjaga  penjara  dan Komandan Milisia di Aileu, masuk ke penjara bersama dengan binatang-binatang   bersenjata  lainnya.   Aquino   dengan keangkuhan  biasanya  dan  menyeringai  seperti  serigala, memerintahkan untuk memisahkan para pemimpin Apodeti, UDT, dan banyak simpatisan kedua partai tersebut lainnya.  Dari kelompok yang dipisahkan tersebut, saya masih ingat  nama-nama mereka: saudara Luiz dan Jose Oliveira, Luiz  Queiroz Joao  Assuncao, Joao Gusmao, Wakil Presiden Apodeti  Bapak Hermenegildo  Martins  yang berumur  sekitar  tujuh  puluh tahun, saudara Feliciano C. Tilman dan Delfin Tilman.

     Kelompok yang dipisahkan berjumlah lebih dari seratus orang.  Lepas  tengah hari, beberapa orang  Fretilin  yang lebih  moderat mengatakan kepada kami,  bahwa  teman-teman kami dipindahkan ke penjara-penjara militer di Aileu. Kami tidak percaya. Terhadap pertanyaan-pertanyaan kami tentang dimana beberapa pemimpin UDT seperti Bapak Cesar Mausinho, Senanes, Fernando Lue, dan Let.Kol. Masjiolo. para penjaga Fretilin  tersebut  mengangkat  bahu  mereka,  mengatakan: "Mereka   mungkin  di  suatu  tempat  di   penjara-penjara militer".

     Kenyataannya,   kami  tidak  pernah  bertemu   mereka kembali, mudah untuk meyakini bahwa teman-teman kami  yang malang tersebut sudah pergi untuk selamanya.

     Potongan-potongan  makanan sudah  berlangsung  selama berhari-hari   sejak  tanggal  27  Desember  ketika   kami mendapatkan   perintah  untuk  keluar  dari  penjara   dan berbaris. Untuk kelompok kami bersama Bapak Jose  Fernando Osorio,  yang  ditahan  di sebuah  sel  militer  dan  juga seorang tokoh Fretilin Antonio Mota, yang menyerah  secara suka  rela  di  Dili kepada  pasukan  gabungan  kami  pada tanggal 18 Desember. Dia menerima untuk membawa pesan yang menyerukan   penyerahan  Fretilin  tanpa   syarat,  untuk menghindari  pertumpahan darah. Pesan  tersebut  ditujukan kepada kepala faksi bersenjata Francisco Xavier Do Amaral. 

     Menurut  beberapa  penjaga  Fretilin,  Mota   ditahan segera  setelah  tiba  di Aileu,  beberapa  lainnya  ingin membunuhnya,  namun dia diselamatkan oleh Nicolau  Lobato. Kendati demikian dia ditahan.

     Kembali  ke tanggal 27 Desember.  Setelah  dibariskan kami  lebih  dari  tiga  ratus  orang,  berbaris   dua-dua membentuk  suatu  barisan  besar  menempuh  jalan   Aileu- Maubisse dengan belasan penjaga bersenjata berat. Di depan dan  di belakang kendaraan-kendaraan ringan  membawa  para tokoh yang lebih penting.

     Banyak  diantara  kami dipukul dan  akhirnya  setelah satu  jam  baru kami sampai di jalan  raya.  Cuaca  begitu buruk.  Awan-awan  hitam  menutup langit  dan  tidak  lama setelah itu hujan lebat mengguyur kami. Siksaan baru harus kami  terima dan dengan hanya menggunakan  sobekan-sobekan kain dan kaki belanjang, kami harus berjalan. Hanya  Tuhan yang tahu penderitaan kami. Beberapa orang mengatakan kami akan  ke  Maubisse,  lainnya  dengan  gemetar   ketakutan, mengatakan  kami akan ditembak dalam perjalanan  tersebut. Dalam  kenyataannya berapa orang lanjut usia  dan  tawanan yang  lemah yang tidak bisa menahan itu,  ditembak.  Untuk menghapuskan keraguan saya bertanya kepada seorang penjaga kita akan pergi ke mana: "Ke Maubisse" katanya.

     Tersiksa  oleh  kebrutalan-kebrutalan,  dengan  tidak mengetahui  kapan ini semua akan berakhir,  tersiksa  oleh ketidakpastian bagaimana dan dimana orang-orang yang  kami kasihi berada, dengan hanya ditutupi sobekan-sobekan  kain   dalam guyuran hujan lebat, dalam hati saya hanya  bertanya kapan  ini semua berakhir. Hujan lebat terus  berlangsung. Payung,  jas  hujan? Oh, tidak ada. Jalan,  jalan,  jalan. Bangsat-bangsat  Fretilin, ya, mereka memakai  jas  hujan, atau  tetap  kering dan hangat  dalam  kabin-kabin  mobil. Mereka bahkan tidak melihat pada kami.

     Setelah  lima mil pertama, kami biasanya mulai  jatuh karena  setidaknya kami sudah dua hari tidak makan.  Salah seorang  penjaga yang berjalan dekat saya  berkata  kepada saya   ketika  saya  jatuh:  "Apa  kamu   ingin   menyusul Hermenegildo  dan  Magiollo?".  Saya  bertanya   kepadanya dimana  mereka berada, dan si penjaga  menjawab:  "Mereka semua sudah dihabisi".

     Andai  sebuah batu menghantam mulut saya,  itu  tidak akan lebih sakit dari kata-kata di atas. Semua mati. Semua mati,  hanya karena mereka mencintai pulau kecil  ini  dan menentang  Fretilin.  Dan Letnan Kolonel  Masjiolo  dengan karier  militer  brilian, tidak tinggal  diam   membiarkan pulau  ini begitu saja. Sebagai seorang anti-komunis,  dia tampil  untuk  menghindari  pulau  ini  dinodai  kekuasaan komunis. Semua mati, mendahului kami. Hati saya mengatakan bahwa kami akan segera menyusul. Saya menangis.

     Dengan  pikiran  menerawang  pada  teman-teman   yang hilang, hujan, angin, lapar, semuanya akhirnya menjadi tak terasa, jalan, saya harus berjalan.

     Kami  sampai di kawasan Dai-Soli, hari  masih  hujan. Kami  diperintahkan untuk berhenti. Kami dipisahkan  dalam   kelompok-kelompok kecil dan menyebar di suatu area  kecil, yang dikelilingi oleh senjata-senjata otomatis G-3  biasa, yang  dibawa  oleh  para  penjaga  Fretilin  sebagai  alat pembunuh  bila ada gerakan kami yang  mencurigakan.  Siapa yang  mengurus kehidupan? Dan Tuhan? Ya,  keyakinan  saya. Bila  ada kehidupan, maka ada harapan.  Kami  menghabiskan malam di Dai-Soli.

     Untuk mengingat, saya mulai dengan berceritera  bahwa ketika  Maia  berada dalam perjalanan  ke  Maubisse,  saya sudah ada di sana sejak tanggal 9 Desember, bersama dengan seratus sepuluh teman tawanan yang diangkut dua truk  dari Aileu.

     Ketika  kami bergabung dengan  teman-teman  tersebut, kami  jadi  tahu bahwa kami hanya akan  mendapatkan  makan satu  kali sehari dan sering terjadi satu kali setiap  dua hari. Sialnya, ketika kami tidak, kami tidak diberi  makan sehingga hari berikutnya kami kelaparan.

     Hari berikutnya, selepas tengah hari, kami  mendengar keriuhan  --  orang-orang Fretilin  tidak  akan  melakukan sesuai  tanpa  keriuhan  seperti  pasar  --  para  penjaga penjara    kami   membuka   pintu-pintu   gerbang   untuk memungkinkan kami mendapatkan makanan kotor, bau hari itu.

     Dengan  menyerupai serangan lebah,  teman-teman  kami yang  ada di sana sebelum kami, melepas  baju-baju  mereka melompat ke arah pintu gerbang. Mendorong, menendang  dll. Orang-orang baru seperti saya, pertama kali tidak tahu apa yang  mereka lakukan. Kemudian kami tahu  bahwa  baju-baju  itu  mereka  gunakan  untuk  membawa  ubi-ubi  rebus  yang dibagikan.  Kata  "cepat-cepat" adalah  tanda  bahwa  yang berada  di belakang tidak akan kebagian jatah  makan  hari itu. Kami melakukan hal yang sama. Berlari. Melepas  baju. Mendorong,   memukul.   Orang-orang   Fretilin   menikmati pemandangan  tersebut. Kelaparan. Akankah itu cukup  untuk semua orang? Haruskah saya mengambilnya? Ya, lapar membuat kami egois. Orang-orang Fretilin tertawa-tawa sinis.  Ubi- ubi rebus panas yang baru diangkat. Sadis. Mereka menanyai kami: "Apakah anda mau membawanya dengan tangan? Kami akan memberimu  lebih  banyak".  Ubi masih  panas  sekali,  tak seorang  pun tahan memegangnya. Dua atau tiga  potong  ubi rebus untuk jatah satu orang setiap hari. Besok kami makan atau   tidak,   bukan   masalah.   Sekarang   kami   sudah mendapatkannya.  Besok tidak usah dipikirkan,  lihat  saja besok.   Dengan   cepat  tiga  potong  ubi   hilang   dari tenggorokan. Masih ada lainnya? Tidak, tidak ada lagi yang lain.

     Setelah makan, pintu ditutup. Dengan duduk  bersandar dinding,  kami  melihat  sekeliling.  Seorang  teman  atau lainnya  akan  menceriterakan suatu kisah  lucu.  Kemudian hening, saya melihat sekeliling. Apa yang saya lihat dalam mereka,  mereka  tentu saja juga akan melihat  dalam  diri saya.  Apa yang nampak, hanyalah tulang berbungkus  kulit. Kerangka-kerangka.  Luka-luka  karena  cambuk  dan   popor senapan itulah yang terlihat paling jelas pada tubuh kami.

      Terkadang  kesunyian  dipecahkan  oleh  suara  sayup- sayup,  kemudian  menghilang.  Kemudian  seseorang   mulai berdo'a dan lainnya ikut memohon pertolongan kepada  Tuhan atas kemalangan kami.

    Hampir selalu setelah kami berdo'a, kami diserbu para penjaga,  dengan cambuk-cambuk di tangan  mereka  berkata, kamu  dan  kamu, dan kamu ke sini. Memukul  mereka  sampai puas.   Kemudian  sekali  lagi,  kamu,  kamu,  dan   kamu. Kebrutalan  tersebut  akan berlangsung  berjam-jam  hingga malam  hari, sampai orang-orang Fretilin  lelah  menghajar kami. Banyak teman saya mati selama masa-masa brutal  ini. Mereka  dibawa  pergi dalam keadaan  pingsan,  dan  mereka tidak pernah kembali lagi. Bahkan sekarang pun saya  masih sering  terngiang di telinga saya suara: "Kamu, kamu,  dan kamu, ke sini".

     Segera  setelah  mereka  pergi  kami  akan  mendengar nyanyian-nyanyian,  dan  tepuk tangan  ketika  orang-orang minum-minum hingga mabuk. Kami tidak tidur malam itu. Kami yakin mereka akan kembali, dan kami yakin salah satu  dari kami  akan mati bila mereka kembali. Kali ini mereka  akan membawa  obor dan biasanya mereka akan memilih orang  yang lebih tegap, dan kebrutalan akan berlangsung lama,  hingga orang tersebut akhirnya jatuh bergelimang darah dan dibawa ke  luar.  Jika mereka hanya setengah mabuk,  mereka  akan membawa seorang lagi. "Kamu, anjing keparat ... kamu ingin merasakan  ini, bukan? Ayo, jawab, kamu merasa orang  suci seperti  malaikat? Kamu akan segera menyusul mereka.  Kamu ingin  dipukul?" Dicambuk? Jeritan-jeritan.  Tawa  gemuruh   dari  para eksekutor. Lihat anjing ini tersungkur.  Cambuk lagi. Kini hanya bisikan. "Anda ingin menghabisi  dia...?" Lain-lainnya  memberi semangat. "Pukul dia,  habisi  dia". "Ya, begitu"..., dan korban pun jatuh tersungkur, merintih kesakitan, membuka dan menutup mulutnya, minta air,  namun air  tidak  pernah  muncul, dan dia  dibawa  pergi.  Dalam  keheningan   kami  berdo'a  untuk  arwahnya.  Orang-orang pertama   yang  dipukul  biasanya  akan  menambah   jumlah kematian.   Orang-orang  terakhir,  biasanya  lolos   dari kematian brutal.

     Diantara   semua   masa  brutal  ini,   yang   paling mengerikan  tepatnya  pada  hari Natal.  Pada  tanggal  25 Desember,  setelah  nyanyian  biasanya,  sekelompok  orang Fretilin  yang dipimpin oleh komandan penjaga --  Domingos Pareira  --  Salah seorang yang paling  keji....  memasuki penjara.  Dia mabuk, matanya merah. Para  tawanan  Apodeti diperintahkan  Pereira berkumpul di sudut. Satu demi  satu dipukuli   secara  brutal.  Bila  mereka   jatuh,   mereka ditendang.  Salah  seorang yang disiksa, adalah  Luiz  dos Reis  Araujo,  kemenakan Bapak Arnaldo  dos  Reis  Araujo. Terhadap  teman  yang  malang ini,  Domingos  Pereira  dan kelompoknya  memperlakukan dia dengan begitu kejam,  hanya nampak  makhluk merah, bermandikan darah.  Darah  mengucur dari kepala, telinga, mulut dan punggung, saya tidak dapat mengenali  bekas-bekas  cambuk lagi.  Segera  setelah  dia kehilangan kesadaran, kelompok itu mengguyurnya dengan air untuk  menyadarkannya kembali. Itu terjadi beberapa  kali,   hingga air menjadi tak berguna lagi untuk  menyadarkannya. Sebagai  akibat  kebrutalan ini, Luiz mati  beberapa  hari kemudian  di Ainaro. Jasadnya dikebumikan di daerah  Mano- Tali.

     Saat-saat  terakhirnya,  terjadi  karena  orang-orang Fretilin  sial  itu ingin menyaksikan  kematiannya  secar sadis. Namun bagian ini akan saya ceriterakan kemudian.

      Saya tidak akan pernah melupakan tanggal 25 Desember, hari  Natal.  Dengan Luiz dalam keadaan koma,  dan  banyak diantara kami diperlakukan secara brutal di hari kelahiran Juru  Selamat  kami, suatu hari  bahagia  digantikan  oleh perlakuan brutal orang-orang Fretilin untuk mengirim  kami ke alam sana.

    Hari  berikutnya,  26 Desember 1976,  sekitar  tengah malam,  Domingos  Pereira dan kelompoknya  muncul  kembali dalam penjara. Dengan berdebar ketakutan kami menunggu apa yang  akan  terjadi.  Apakah kami  akan  dijadikan  subyek terhadap   kebrutalan-kebrutalan  baru?  Tidak,   Domingos Pereira  kali  ini meskipun dia membawa  cambuk  biasanya, memanggil  beberapa  tawanan. Mereka adalah  berikut  ini: seorang  Cina,  saya tidak ingat  namanya,  Amadeu  Coelho Eropa, Mayor Lourenso da Silva dari Same, Cosme,  Januario Cabral,  Joaquim E. Santo dan Domingos Sequetra,  semuanya dari Dili.

     Setelah  dikumpulkan mereka dibawa pergi. Kami  tidak pernah  menjumpai  mereka  kembali  sesudah  itu.  Melalui pertanyaan-pertanyaan  berhati-hati  kepada  para  penjaga   Fretilin yang lebih moderat tentang tempat-tujuan kelompok tadi  mereka hanya akan menjawab: "Jangan  khawatir,  anda tidak akan menjumpai mereka lagi".

     Pada  tanggal  27 Desember Domingos  dan  kelompoknya muncul   kembali,  suatu  kunjungan  yang   sangat   tidak diharapkan. Kekhawatiran baru muncul.

     Setelah   melihat   sekeliling,   Domingos    Pereira memerintahkan pemisahan  semua orang Eropa  dan  Mestizo. Jumlah teman-teman kami tersebut sekitar enam puluh orang. Diantara mereka yang masih saya ingat adalah Lino  Pereira alias  Lino Cowboy; Lucio Enlarnacao, Antonio  dos Santos Faisca dan anaknya Jose Antonio, Joel Quim; mantan  Kopral Mario, dan  Jorge, Henrique  Simoes  dan  saudara-saudara serta  sepupunya,  Luiz Queiroz,  Fialho   mantan-Manajer Baucau motel, Duarte, Sebasteao, Tavares, Henrique  Faria, Almeida yang dikenal sebagai Bohemian (orang  berkehidupan bebas  seperti  seniman), Jaime  Pereira  mantan  Pemimpin Sipil, Rui dan Francisco Goncalvez  anak-anak Ny. Carolina Goncalvez,  Antonio  Lemos dan dua  saudaranya  Alexandre, Hegas,  dan  masih  menantunya,  Antonio  Aniceto,   Jaime Aniceto,  saudara-saudara Oliveira, Canelas, saudara  ipar Afonso Redentor boneka Fretilin.

     Beberapa  minggu kemudian teman-teman  ini  bergabung kembali  dengan kami. Sehingga kami tahu,  bahwa  Fretilin menaikkan  mereka  dalam dua truk ke Aileu,  namun  mereka tidak sampai Aileu, karena di tengah jalan mereka  bertemu orang-orang  Fretilin lainnya yang mundur  karena  desakan 
pasukan-pasukan   gabungan   yang  mulai   memasuki   kota tersebut.

     Pada tanggal 27 Desember 1975 dan setelah mendapatkan laporan  Bapak    Moniz Maia, ketika dia dan  para  koleganya menghabiskan   malam   di Dai-Soli,   kita   kembali   ke penyiksaannya  untuk  memungkinkan  suatu pemahaman  yang lebih baik tentang laporan ini.

      Kami  menghabiskan malam tanggal 27 Desember di  Dai- Soli.   Kami  disebar   dalam   kelompok-kelompok    yang dikelilingi  oleh para penjaga bersenjata.  Kelelahan  dan kelaparan yang menyiksa meningkatkan kelemahan fisik kami. Dalam  keadaan  seperti ini kami  tidak  bisa  mengacuhkan dimana kami harus tidur. Kami berbaring seperti kerbau  di kubangan, namun tertidur juga.

     Segera   setelah  keadaan  terang   kami   dibariskan kembali. Dengan berjalan beberapa ratus meter kami  sampai ke  sebuah ladang jagung, dan pohon-pohon mangga  di  sisi jalan. Nampak seperti mimpi. Banyak diantara kami  berlari seperti  orang gila mengambili jagung dan  mangga.  Lapar. Dengan  segera para penjaga menembak ke  udara,  sementara lain-lainnya memaksa teman-teman kami yang sudah mengambil jagung  dan  mangga  untuk  meninggalkannya,  dan   dengan tendangan  dan  pukulan para penjaga  membuat  teman-teman kami kembali ke barisan. Ketika kami berdiri, para penjaga mulai   mengambilinya,  sementara  lain-lainnya   memukuli teman-teman kami, dengan memperlihatkan kebrutalan mereka. Ketika  hari mulai hujan para penjaga berhenti  mengambili   jagung  dan  mangga, dan kembali memulai  lagi  perjalanan dengan   semua  penjaga  makan  mangga,  sementara   kami, tahanan, kelaparan, hanya menelan air ludah.

    Tanpa  kejadian berarti lainnya kami sampai  di  kota Maubisse sekitar pukul 2 sore, setelah perjalanan  panjang 30 km, sebagian besar diguyur hujan.

     Di  Maubisse para penjaga menggiring kami  ke  gudang ubi, seperti di Aileu, yang juga berfungsi sebagai penjara di  Maubisse. Kami dibariskan di depan pintu  gerbang  dan dihitung.  Penghitungan  dan  pendaftaran nama-nama  kami menghabiskan waktu hampir dua jam, kemudian kami bergabung dengan  para  tahanan  yang  sudah  ada  di  sana.  Dengan tambahan  kami, jumlah penghuni  penjara Maubisse  menjadi lima  ratus  orang. Karena area gudang yang  sempit,  kami dijejalkan  seperti  ikan sarden dalam kaleng,  tidak  ada ruang untuk bergerak. Pada hari itu kami tidak makan  apa- apa.  Bau  keringat sangat menyengat,  karena  kami  tidak diperbolehkan mandi ataupun mencuci pakaian.

     Pintu gerbang tetap tertutup hingga hari  berikutnya. Hari  itu  kami  isi  dengan  beberapa  item  pembicaraan. Kadang-kadang   suatu  kelompok  berdo'a,   dan   kemudian semuanya  ikut bergabung. Setelah itu terkadang  ada  yang berceritera  lucu  dan banyak yang  tertawa.  Ada  kalanya hening sama sekali, saat-saat kami mengingat keindahan dan kegetiran  hidup kami. Saya katakan demikian  karena  saya yakin  semuanya  akan berpikir  seperti  saya.  Terisolir, dipaksa  menyerah  oleh situasi, tidak ada  harapan  untuk 
selamat. Terhadap keadaan ini, kami hanya memikirkan  jiwa kami,  mengingat  semua  hal yang manis  dan  pahit  dala kehidupan  kami, mungkin kami tidak akan  pernah  berjumpa lagi.  Terkadang, tanpa sadar kapan  datangnya,  tiba-tiba seorang  teman  sudah  ada di samping  saya.  Dengan  mata menerawang, bibir gemetaran. Berdo'a, mengutuk?  Entahlah. Apa sebenarnya yang terjadi terhadap teman-teman saya yang sudah  tidak  di sini? Kata seorang yang  berdo'a  lainnya bertanya  kepada Tuhan. Sementara lainnya  lebih  optimis, dengan   mata   bersinar,  dan  penuh   keyakinan   mereka mengatakan: "Jangan khawatir teman-teman, kita akan keluar dari  ini  semua, anda akan lihat". Ada juga  yang  kurang optimis,  mereka siap mati untuk menyelamatkan orang  lain dan orang-orang ini akan berciritera kepada sanak keluarga mereka  mengenai  penderitaan mereka.  Bagaimanapun  juga, kita  akan mati dalam Tuhan dan menunggu orang-orang  yang kita cintai di sorga.

     Hari  berikutnya,  tanggal 29 Desember  1975,  jam  8 pagi,  pintu-pintu gerbang dibuka, kami  dikeluarkan  dan digiring  ke  barak militer, dimana kami  menunggu  hampir satu  jam. Akhirnya, Nicolay Lobato muncul, diiringi oleh sekelompok  besar orang-orang bersenjata,  disamping  para kolaborator  dekatnya,   Helio  Pina,   Cesar   Mau-Laka, Carvarino,  Guido Soares, Velente, semuanya  menghabiskan malam itu di sini di Maubisse.

     Nicolau  sebagai  pimpinan  kelompok,  dengan   suara lantang  berkata: "Saya mendapatkan berita, ada  di  sini,   anjing-anjing  yang tidak mau membawa kotak-kotak  amunisi kami,....  Terhadap  anjing-anjing ini  dan lainnya  yang tidak  mau bekerjasama, akan segera saya berikan  "hadiah- hadiah" untuk mereka. Setelah itu, beberapa senapan mereka mengarah  ke kami. Nicolau berkata lebih  lanjut:  "Kepada semua   anjing  yang  menolak terhadap  apa   yang   kami perintahkan,  saya  siapkan mereka untuk eksekusi dengan segera.... bagaimana? Apakah kamu lebih suka mati hari ini di tempat yang sama atau membawa kotak-kotak kami?"

     Dengan  gemetar kami semua berkata ya. Meskipun  kami tahu  tujuan kami sudah dekat, namun kami  berusaha  untuk menyelamatkan diri saat itu.

     Puas    atas   hasil   ancaman-ancamannya,    Nicolau memerintahkan untuk membawa kami ke kotak-kotak  tersebut, dan masing-masing orang menerima satu kotak yang  beratnya sekitar  62  lb, yang dalam keadaan-keadaan  normal  tidak akan  begitu  berat  membawanya.  Namun  setelah  beberapa minggu  kekurangan makan dan diperlakukan  secara  brutal, seseorang  mungkin  merasa seperti memikul  bumi  di  atas bahunya. Kotak-kotak neraka tersebut dibawa dari Dili  dan Aileu oleh teman-teman kami yang ditawan di sana.

     Setelah  sesaat  menunggu, tanpa diberi  makan,  kami diperintahkan  untuk  berbaris ke Same. Tak  lama  setelah kami  berjalan hujan lebat pun turun sepanjang  perjalanan ke Alto-Fiecha, suatu tempat 20 mil dari Maubisse. Kotak- kotak  yang  semakin berat karena basah, jalan  licin  dan berlumpur, perut kosong, bentakan-bentakan Fretilin  agar   terus   berjalan...  tidak  boleh  berhenti....   membuat penderitaan  kami tak terkatakan, lengkap sudah. Kemudian kami  diambil  alih oleh kendaraan-kendaraan  ringan  yang membawa Lobato, Carvarino, Cesar Mau-laka dan lain-lainnya. Setelah beberapa mil mulailah suatu drama baru.

     Banyak teman kami mulai jatuh dan mendapatkan pukulan hingga  mereka bangun. "Jalan" bentak para  penjaga  kami. Lainnya  lagi  jatuh.  "Jalan anjing"!  29  Desember  yang hitam. Dihukum dengan beban berat, tersiksa oleh hujan dan perlakuan buruk, lemah karena perut kosong, oh Tuhan, kami hanya  mendengar:  "Jalan bangsat!, anjing  yang  berhenti akan ditembak kepalanya.... jalan terus....!".

     Diantara kami, orang yang paling tersiksa tentu  saja John Damas. Teman kami yang malang ini jatuh beberapa kali dan  disiksa  oleh Fretilin. Ketahanan John  Damas  tidak begitu lama.

     Pada  suatu  saat dalam perjalanan  itu  hujan  turun bagai  dicurahkan dari langit, jalan seperti sungai,  John Damas sekali lagi jatuh. Saat itu dia jatuh lurus ke depan seperti disambar petir. Kepalanya terhunjam dalam air  dan tidak  bergerak  lagi. Beberapa penjaga  mengelilingi  dan memukulnya.   Salah   seorang  dari   mereka   membalikkan kepalanya. Air hampir menutupi seluruh wajahnya. Pemukulan terus  berlanjut, namun John tetap  diam. Bangsat-bangsat Fretilin  terus memukul dan menendangnya.  Kemudian  salah seorang mengarahkan senapan kepadanya. "Satu tembakan akan menghabisinya",   saya  kira.  Pada  moment  yang   tepat,   meskipun, dia seperti dihidupkan oleh kekuatan  misterius, dia mulai bangkit. Event tersebut terjadi tepat di samping saya.  Perlahan John berdiri. Dengan  melihat keadaannya, memberikan  kesan seolah-olah dia baru saja tiba di  sini. Tembakan  tidak  terjadi,  John  diselamatkan.  Dia   ikut melanjutkan perjalanan.

    Meskipun  kami ingin membantu John, namun kami  tidak bisa,  karena  kami memikul beban. Kami  sampai  di  Alto- Flecha pada pukul 4 sore. Kami berjalan 10 km menghabiskan waktu  6  jam. Dengan melihat waktu yang  dihabiskan  saja dalam   jarak  dekat  anda  dapat  membayangkan   beratnya perjalanan  kami.  Namun  sebelum  berlanjut  saya   ingin menceriterakan  episode berikut. Sekitar satu mil  sebelum Alto-Flecha, Canelas Eropa dan Francisco Oliveira, seorang Mestizo,  mendapatkan  kesempatan  untuk  lari  di  suatu tikungan  dan  tidak dilihat para  penjaga.  Mereka  cepat menyelinap ke sisi jalan dan menghilang masuk hutan.  Para penjaga pertama kali tidak mengetahuinya. Manuel Oliveira, saudara Francisco yang melihat mereka lari, mendekati sisi jalan  dan  melompat, namun dia terlalu  lamban,  sehingga seorang  penjaga  menanyainya dengan curiga apa  yang  dia lakukan. "Saya kencing" jawab Manuel.

     Kami   tidak  tahu  apakah  mereka  selamat   setelah pelarian tersebut, namun hingga kini kami tidak mengetahui sesuatu tentang mereka.

Kami  diperintahkan  berhenti  ketika  sampai   Alto-Flecha.  Kami  menurunkan  semua  kotak  amunisi  di  satu   tempat,  yang  ditunjukkan oleh para  penjaga  bersenjata. Bebas dari beban berat tersebut, lelah luar biasa,  dengan menahan  lapar,  kami  duduk  berkelilingdalam   kelompok- kelompok,  yang  dikelilingi oleh para  penjaga.  Meskipun para  penjaga  Fretilin mungkin sedang menunggu  para  bos mereka,  namun kami tidak bisa berbaring di  tanah  basah, akhirnya kami hanya beristirahat sambil duduk jongkok.

     Setelah   hampir   satu   jam   para   penjaga   kami memerintahkan untuk bangun dan berbaris, kemudian  memulai perjalanan  tanpa kotak-kotak berat yang sangat  menyiksa. Beberapa penjaga mengatakan amunisi-amunisi akan tetap  di sana  untuk  mensuplai  Fretilin  dalam  bertahan  melawan pasukan-pasukan kami yang terus mendesak. Sekitar pukul  8 pagi,  kami  sampai di sebuah desa kecil  (suatu  kelompok empat  atau  lima gubuk bambu dan  beratap  ilalang)  yang disebut  "Laqui-Bau-Ulo"  dan  ditampung  di  sebuah  S.D. (sekolah dasar). Malam itu kami masing-masing  mendapatkan dua  potong  ubi jalar untuk sekedar  mengisi  perut  yang kosong. Dua potong ubi jalar yang sangat berarti  tersebut dengan  cepat  menghilang dalam tenggorokan  sebelum  kami menyadarinya.  Kemudian  perut  terasa  melilit  kesakitan meminta  tambahan  makanan, namun dimana  akan  memperoleh makanan  lagi. Rasa sakit menjadi tak  tertahankan  ketika ter  cium  bau harum daging panggang. Oh,  Tuhan,  berikan pada kami tulang belulangnya saja....

     Sekali-sekali  kami mendengar suara terompet,  karena Fretilin  memberikan  pesan purbakala  untuk  mengumpulkan   penduduk  di  sana. Kehadiran penduduk  tidak  berlangsung lama.  Meskipun  kami terkunci dalam  sekolah  namun  kami mendengar  suara-suara  di luar.  Pertama  kami  mendengar suara  riuh  rendah dari suatu  kelompok  besar,  kemudian teriakan-teriakan  seseorang.  Kemudian, suara  yang  sama memulai  suatu  pidato untuk  menghasut  penduduk,  dengan mengatakan  kepada mereka bahwa di dalam sekolah  itu  ada penghianat-penghianat, musuh-musuh rakyat, dimana penduduk harus  mengawasi mereka dan jangan beri ampun  bagi  siapa saja  yang  berusaha keluar. Pagi berikutnya,  tanggal  12 Desember 1975, pintu-pintu dibuka dan kami keluar.  Karena di  bawah guyuran hujan dan perintah-perintah untuk  terus berjalan,  kami mengira bahwa kami kembali ke  Alto-Flecha untuk mengambil kotak-kotak, rupanya kami bahkan ke  Same. Dengan  demikian  mengkonfirmasikan bahwa  Fretilin  ingin menahan  pasukan-pasukan  kami  yang  terus  maju  diAlto- Flecha.  Disamping guyuran hujan  berkesinambungan,  tidak ada hal khusus yang terjadi hingga Same, dimana kami  tiba senja   hari.   Perjalanan  tersebut  ringan.   Sekalipun demikian,   kami  sudah  kehabisan  tenaga,   saya   tidak mengatakan  kelaparan  karena  ini hal  biasa  sejak  kami berada dalam cengkeraman Fretilin.

     Di kota Same, hujan masih berlanjut, kami  dibariskan di  depan  gedung  pasar.  Banyak  orang  sipil,  beberapa diantaranya sanak keluarga kami, berusaha untuk  mendekati kami,  namun  dihalau oleh para penjaga  kejam  dan  harus darah,  binatang bertubuh manusia. Kepedihan baru.  Betapa 
pedihnya  banyak diantara kami mendengar panggilan  orang- orang  yang  kami  cintai  tanpa  bisa  menjawab.   Mereka menjerit  dan  meneriakkan  nama-nama  orang  yang  mereka cintai, yang mereka kenali hanya melalui sosoknya,  karena tinggal   tulang  dibungkus  kulit,  lama  kelaparan   dan perlakuan brutal di penjara-penjara. Kami hanya bisa diam, namun  hati  kami menangis. Yang terisak  segera  dipukul. Setelah  lama  berhenti,  mungkin  disebabkan  oleh  suatu pertemuan Fretilin untuk mencari pemecahan mengenai  kami, kami   dibagi  menjadi  dua  kelompok  besar,  yang   satu ditempatkan di S.D. disamping Motel, dan kelompok  lainnya ditempatkan  di  S.D. dalam area pasar.  Dalam  pada  itu, sudah  ada para tawanan dalam sekolah dekat  Motel.  Untuk selanjutnya,  kami  akan menyebut  kedua  penjara  sekolah tersebut sebagai "Motel" dan "Pasar".


Berikut ini laporan Bapak Maia:


     Saya  ditampung di "Mercado - Pasar" pada tanggal  30 Desember  '75  dengan teman-teman saya. Sekitar  pukul  10 malam,   sekelompok  Fretilin  bersenjata  masuk   kedalam penjara   tersebut   dan  memanggil  dua   orang  mestizo bersaudara,  Aquedo  dan  Maucuro,  yang  juga   merupakan saudara-saudara  seorang  tokoh Fretilin  Juvenal  Inalio, seorang mantan pemain sepak-bola. Dua bersaudara  tersebut keluar dan tidak pernah kembali lagi.

    Hari  berikutnya, pagi-pagi sekali,  kami  keheranan, muncul  banyak orang-orang sipil yang  membawa  keranjang- keranjang makanan dan botol kopi. Makanan yang dibawa oleh   teman-teman  kami tersebut merupakan kebahagiaan yang  tak terkira.  Tidak pernah saya bayangkan. Akhirnya kami  bisa makan,  yang  memberi kami kekuatan dan  membebaskan  kami dari  keadaan  setengah mati. Kemudian  kami  tahu,  bahwa setelah  membayar  uang sogok kepada para  tokoh  Fretilin lokal,  dan  kepada para penjaga, teman-teman  kami  boleh membawakan kami makanan. Pada saat kami makan, teman-teman kami  dan  beberapa sanak keluarga bercerita  kepada  kami bahwa  banyak  orang  melihat beberapa  mayat  di  pinggir sungai,  yang  dibunuh dengan pisau atau  panah.  Berdasar deskripsi mayat-mayat tersebut kami bisa yakin bahwa mayat Aguedo dan Mau-Curo berada diantara mayat-mayat  tersebut, karena  kedua teman kami tersebut berkulit-bersih.  Teman- teman   kami   menambahkan  bahwa   mayat-mayat   tersebut memperlihatkan  luka-luka parah di leher,  dada,  perutnya sobek,  dan  usus terhampar di  sampingnya.  Inilah  akhir kebrutalan  terhadap  teman-teman kami yang  malang,  hati kami menjerit dan berdo'a kepada Tuhan untuk arwah mereka. Melalui  teman-teman kami juga tahu bahwa pastor  (priest) lokal,  Bapak  Raphael sedang  berupaya  untuk  memperoleh bahan  makanan dan yang diperlukan lainnya dari  komunitas Katholik untuk meringankan penderitaan kami. Dalam  usaha- usaha untuk membantu kami, dia mendapatkan tantangan keras dari  Fretilin, namun dia tidak menyerah. Dia  menyerahkan dirinya  kepada boneka-boneka Fretilin, dengan  mengatakan bahwa  dia  adalah  Utusan  Tuhan  dan  hanya  Dia,   yang dipatuhinya.  Bahkan  dengan sikap  negatif  Fretilin  dia   melakukan  segala sesuatu untuk memberi kami  makanan  dan dukungan  moral. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut  Bapak Raphael menyatakan sebagai seorang pastor dia bisa memihak pada  salah satu partai, karena semua manusia adalah  anak Tuhan  dan  dengan demikian  membutuhkan  bantuan.  Dengan kata-kata   yang  adil  dan  benar  ini  dia   mendapatkan kompensasi tahanan rumah dan bila saja dia ingin melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat, dia harus meminta ijin dari   Komandan   Militer,  yang  pada   gilirannya   akan memerintahkan   seorang   penjaga    bersenjata     untuk mengawasinya.  Sekalipun  demikian, Bapak  Raphael  tidak pernah  tinggal  diam, dia terus  meminta  penduduk untuk membantu    kami,   dialah   yang    pertama    memberikan perbekalannya  kepada  kami.  Saya  sangat  hormat  kepada pastor   yang baik  ini,  meskipun  saya   tidak   pernah kehilangan   keyakinan  saya,  contoh yang   diberikannya merupakan  suatu  konfirmasi bahwa tidak  ada  yang  perlu ditakuti oleh orang yang bersama Tuhan.

     Karena  kami diminta untuk mengkoordinasikan  laporan kami dan sebagaimana teman saya Januario De Carvaiho  yang ditahan  di  "motel",  maka  saya  persilahkan  dia  untuk melanjutkan laporannya.

     Di tengah malam tanggal 12 Desember 1975,  sekelompok Fretilin  bersenjata  memasuki penjara dan  setelah  suatu pengecekan  lama,  seorang yang  nampak  sebagai  pimpinan Henrique  Faria  (Eropa), dan seorang pemuda  Timor,  yang sekarang ini saya tidak ingat namanya. Dengan berjalan  di tengah-tengah  kelompok  tersebut, tiga  teman  kami  yang malang   keluar  dan  tidak  pernah  kembali  lagi.   Hari berikutnya, ketika beberapa penduduk sipil membawakan kami makanan,  kami  mengetahui akhir menyedihkan  dari  teman-teman  kami  yang malang. Mayat-mayat  mereka  yang  penuh bekas  tikaman ditemukan di pinggir sungai  dengan  perut- perut  tersobek. Jadi, sesuai dengan laporan  Bapak  Moniz Maia  tentang  akhir menyedihkan  dari  teman-teman  kami, Aguedo  dan  Mau-Curo, malam itu  Fretilin  membunuh  lima orang pemuda dengan cara primitif, tanpa belas kasihan.

      Kini  Bapak Moniz Maia akan  melanjutkan  pernyataan- pernyataannya. 

     Di sekolah - penjara (pasar), tidak ada sesuatu  yang istimewa  terjadi kecuali pembagian makanan untuk  pertama kali  sejak kami berada di sana, tanggal 3  Januari  1976. Hari itu para penjaga kami membawa sebuah drum dengan nasi lembek, tanpa sayur atau pun lauk pauk lainnya.

     Karena  kami  tidak memiliki piring  atau  sendok  -- orang-orang  yang memilikinya, yang diberi sanak  keluarga mereka ketika di Same, harus menghabiskan jatahnya  dengan cepat  dan segera memberikannya kepada orang lain,  jangan sampai  terlambat  sedikit pun karena  para  penjaga  akan marah  dan  menghentikan  pembagian  tersebut.   Pemberian makanan  berlangsung beberapa hari, walaupun hanya  sekali sehari.  Yang sedikit membantu adalah sanak  keluarga  dan   teman-teman   kami   yang   sering  membawakan   makanan.  Kuantitasnya memang tidak cukup untuk mengenyangkan  perut kami,  namun  kami sangat berterima kasih  atas  sumbangan mereka  yang sangat berarti, karena kami juga  tahu  bahwa penduduk   sipil  juga  sangat  sulit  untuk   mendapatkan makanan, itu sudah merupakan bantuan yang besar.

     Pada  tanggal  5  Januari 1976  pukul  2  sore,  kami kedatangan  orang-orang   Fretilin  yang   baru,   dengan pandangan   sinis.   Kali  ini disamping   para   penjaga bersenjata  biasanya,  muncul juga  para  tokoh,  anggota- anggota  Komite Sentral Fretilin: Cesar Mau-Laka,  Juvenal Inacio, keduanya dari Dili; Antonio Sepeda, Adriano Corte- Real,  Victor  Da  Costa, Pedro  Corte-Real  dan  Domingos Pinheiro, semuanya dari Same.

     Dengan  mata-mata merah harus darah,  mulut  tertutup mencibir  sinis penuh kebencian, boneka-boneka ini  dengan membusungkan  dada  berjalan dari  satu  ujung  ke  ujung lainnya,  mengindikasi para tawanan yang akan dipisahkan. Para tawanan dibawa seperti sapi oleh para penjagal,  saya juga termasuk. Kami berjumlah sekitar enam  puluh  orang, yang meliputi para tokoh terkemuka dan militan Apodeti dan U.D.T.; saya tidak ingat nama mereka satu per satu,  namun saya   masih  ingat  nama-nama  Jose  F.   Osorio  Soares (Sekretaris  Jenderal Apodeti); Arlindo  Osorio,  Domingos Osorio;  mereka semua adalah saudara kandung  dan  sepupu, Mario  Zuarez,  Peter Mui, pemilik Bistro Pearl  di  Orien Bucau,  Guilhermino Da Silva, Mateus Araujo,  Said  Musah,   Tony Alon, Lino Cow-Boy, Alfredo Issac dan anaknya Manuel dan Antonio Simoes, Francisco Simoes, Luiz Simoes, Adelino Simoes dan Henrique Simoes, semuanya bersaudara.

     Setelah  berbaris  di luar, para  penjaga  menggiring kami  ke sel-sel sekuriti Marimusa di penjara kota.  Dalam pada itu, para tawanan yang diklasifikasikan oleh Fretilin sebagai berbahaya ditransfer dari "pasar" ke "motel".

     Kami  dijejalkan  dalam  sel-sel  rahasia  yang  daya tampungnya  sebenarnya tidak layak bahkan untuk  menampung sepertiga dari kelompok kami sebanyak 60 orang. Namun bagi Fretilin  itu bukanlah masalah. Kami harus bertahan  dalam keadaan  penuh  sesak dan berjejal.  Tepatnya  ukuran sel tersebut  adalah  2 x 3 m, dan dua  lainnya  bahkan  lebih kecil.  Sel-sel ini memiliki koridor sempit dengan  sebuah pintu  kecil  untuk  keluar. Tanpa sistem  ventilasi  dan jendela,  panasnya  bukan main, disamping  juga  bau yang menyengat karena kami juga harus kencing di lantai sel.

     Untuk  meringankan  keadaan kami  berusaha  melupakan penderitaan kami,  kami bercerita lucu-lucu  dan  ngobrol kosong  tanpa arti. Bila kami kehabisan kisah-kisah  lucu, kami  berdo'a  kepada  Tuhan  dan  menyanyikan  nyanyian- nyanyian  religius. Bersama dalam sel-sel sempit,  bersama dalam berdo'a dan kelaparan serta perlakuan  buruk,  kami merasa dekat lebih dari saudara kandung.

     Beberapa  kali kami diganggu oleh para penjaga,  yang akan  menyerang masuk  ke dalam  sel-sel,  memukul  kami, mencari maki dan berkata: "Hentikan semua ini  anjing....!  Kamu  kira  dengan do'a-do'a Chico Lopez dan kelompoknya akan  semakin  kuat? Kamu sudah tahu bahwa  Maubere  tidak takut.... Biarkan anjing-anjing itu datang dan mereka akan lihat  apa yang akan mereka dapatkan". Lain-lainnya  tetap diam,  hanya mengawasi dan tertawa terbahak-bahak  bersama teman-teman mereka. Ketika itu terjadi kami akan berhenti, mulai lagi setelah para penjaga meninggalkan kami.

     Memang aneh. Ketika selesai berdo'a saya merasa lebih tenang.  Kalau sebelumnya hari saya merasa  khawatir  dan takur  terhadap apa yang akan terjadi pada saya, itu  akan hilang  setelah  berdo'a, bahkan saya menjadi senang,  ya senang.  Karena  saya merasakan ada suatu  kekuatan  dalam diri saya yang sampai sekarang tidak bisa saya jelaskan.

     Dalam  sel-sel  rahasia tersebut  kami  hanya  diberi makan  sedikit dalam sehari, nasi kotor. Untuk  buang  air besar,  disediakan  sebuah drum di  koridor,  yang  isinya harus  kami buang bila sudah penuh dengan menggali  lubang untuk menguburkannya.

     Dari permulaan hingga tanggal 27 Januari para penjaga Fretilin  tidak memperlakukan kami dengan  buruk,  kecuali hanya  mengganggu  kami dalam berdo'a dan  mengancam  yang membuat kami gemetaran.

     Hari  itu  Fretilin mendengar  berita  bahwa  pasukan gabungan  sudah sampai Betano, mereka sibuk untuk  membawa kami  pergi,  untuk  menghindari  penyelamatan  kami  oleh pasukan  gabungan. Kami sekali lagi dipindahkan  ke  Hola- Rua. Tawanan lain yang ditahan di "Pasar" juga dipindah ke   Bitite  dimana  pembunuhan  Bapak  Mateus  Ferreira   yang terbunuh  memiliki perkebunan kopinya, yang mati  di  Dili dalam  bulan September '75,  karena  kebrutalan-kebrutalan yang   dideritanya  dari  para  penjaga  Fretilin.   Bapak Ferreira,  sejak  penahanannya di suatu tempat  di  bagian timur  pulau  tersebut, menjadi korban  kebengisan  dengan intensitas  sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak  dapat dikenali  lagi.  Dia mati segera setelah sampai  di  Dili.

Baiklah, kita kembali ke Hola-Rua....

     Di Hola-Rua kami ditahan di rumah Mayor Lourenso, dia sendiri  seorang tawanan. Satu jam kemudian  para  tawanan yang diklasifikasikan berbahaya tiba dari "Motel", ditahan bersama  kami. Karena mayoritas dari kami  adalah  anggota aktif  Apodeti dan U.D.T. sejak saat itu kami yakin  bahwa ini akan menjadi tempat terakhir bagi kami sebagai tawanan yang  masih hidup. Kematian sedang menunggu kami.  Sebagai suatu  catatan,  saya  ingin  menyebutkan  kelompok   yang menggiring  kami ke Hola-Rua, dikomandani oleh  Cesar-Mau- Laka  yang terkenal bengis, Adriano  corte-Real,  Domingos Pinheiro,  Joaquim Pinheiro dan Pedro Corte-Real.  Setelah satu jam di dalam rumah tersebut, beberapa penjaga  dengan tujuan  menakut-takuti  kami  mengatakan,  penduduk  sipil sudah  datang  secara  sukarela  (saya  ragukannya)  untuk memperkuat  pengawasan sekitar rumah  dimana kami  berada. Salah seorang penjaga sebelum pergi memperingatkan:  "Jika kamu  ingin  menggali lubang, katakan pada  kami  sehingga kamu menggali lubangmu sendiri.... sebelum kamu mati".

     Setelah  dia  menutup pintu, kami  berpandangan  satu sama  lain  dalam kesedihan. Kami  mengulangi  rekomendasi bahwa  siapa pun yang selamat harus  menceriterkan  kepada keluarga dan teman-teman kami tentang penderitaan kami dan tempat  di mana Fretilin menghabisi kami.  Seraya setelah itu,  karena  kami sedang menuju kematian,  kami  berdo'a. Pada  saat itu saya membayangkan kembali semua yang  sudah saya  lakukan. Saya meminta ampun atas dosa-dosa saya  dan memaafkan musuh-musuh saya. Saya ingin siap untuk  bertemu dengan Tuhan.

     Sekitar  pukul 10 malam kami mendengar  suara  sebuah mobil yang berhenti dekat rumah. Kemudian pintu dibuka dan orang yang cukup kami kenal, Gusmao, seorang mantan sersan fanatik,   yang   diiringi  oleh  suatu  kelompok   kecil bersenjata, mengeluarkan selembar kertas dari sakunya. Dia mulai  memanggil nama-nama, termasuk nama saya.  Nama-nama yang dipanggil adalah: Jose Fernando Osorio Soares,  Moniz Maia  (saya  sendiri), Mario Zuarez,  Peter  Mu,  Domingos Osorio,  Arlindo Osorio, Manuel Jacinto (semuanya  anggota keluarga  Osorio),  dan  Said Musah.  Ketika  kami  keluar orang-orang Fretilin di luar mengatakan kepada kami  untuk melepas  baju  kami  dan mengikatkannya  di  kepala  untuk menutup  mata. Sebelum mata saya ditutup saya  tahu  bahwa kendaraan  yang diparkir adalah sebuah land-rover  dengan bak terbuka. Kendaraan tersebut melaju dengan cepat. Para pembunuh   kami  khawatir  kami  bisa  lari.   Jalan-jalan berlubang  di malam hitam pekat. Akhirnya  kami  berhenti.   Inilah saat segalanya akan berakhir. Kami diturunkan  dari land-rover  dengan  mata  tertutup.  Dengan segera   saya berdo'a  dan  meminta  kepada  Tuhan  untuk  memberi  saya kematian yang cepat. Tanpa diketahui saya menggeser ikatan dari mata saya, saya bisa melihat sesuatu. Mobil  diparkir di  tengah  jalan di wilayah  Hat-Nipa.  Kami  dikelilingi orang-orang Fretilin bersenjata untuk mencegah kami  lari. Cahaya  lampu  mobil begitu benderang  menyilaukan.  Satu- satunya jalan adalah menuju air terjun yang  di  bawahnya mengalir  sungai  berjarak sekitar dua  puluh  meter  dari tempat kami berada. Di seberangnya sebuah kaki gunung yang curam, hampir tidak mungkin didaki. Fretilin memilih  sisi kanan sungai untuk tujuan mereka. Satu-satunya jalan untuk lari adalah melompat ke bawah air terjun...

     Saya  mendengar  sebuah  tembakan.   Pekikan-pekikan. Kemudian  satu tembakan lagi.  Pekikan-pekikan:  "Jangan!! Jangan!!  Jangan!!"  Sebuah tembakan  lagi.  Saya  menarik sedikit  lagi baju penutup mata saya. Di depan saya  Bapak Osorio sedang berbicara dengan para pembunuh kami,  dengan mengatakan  "Jangan  beri  kami  kematian  yang  memalukan seperti  ini!!!  Anda lebih baik mengirim  kami  ke  garis depan!!   Jangan   membunuh  kami  seperti   ini.   Tolong hentikan!"  Fretilin  menjawab. "Berhenti  merengek.  Kamu akan  bebas". Sebuah tembakan menyusul, dan  Bapak  Osorio pun  pergi untuk selamanya. Saat itu sama mendengar  lebih banyak rengekan dan permohonan belas kasihan. Siksaan  ini masing  sering terngiang dalam ingatan saya. Saya  tergoda   untuk  berlari  menuju para pembunuh saya  dan  mengatakan kepada mereka bunuhlah saya dengan segera, namun itu tidak saya  lakukan.  Kemudian  saya  mengenali  suara   Arlindo Osorio, yang menjerit meminta untuk berdo'a lebih  dahulu. Pemandangan tersebut masih segar dalam ingatan saya. Namun Fretilin  mencengkeram dan mendorongnya ke pinggir  jalan, dia  menjerit-jerit untuk berdo'a lebih  dahulu.  "Ijinkan saya berdo'a,  ijinkan  saya berdo'a".  Di  sini  Arlindo Osorio  ditembak dari jarak dekat dan menghilang jatuh  ke dasar air terjun. Saya terus meminta dalam hati "Bunuhlah saya,  bunuhlah saya, pembunuh". Saya tidak ingin  melihat peristiwa  itu lagi. Namun itu belum sampai  pada  giliran saya.  Binatang-binatang Fretilin itu kemudian  menuju  ke Manuel  Jacinto. Orang ini menjerit dan  berpegangan  kuat pada kendaraan. "Jangan! Jangan!", katanya. Para pembunuh mendorong Manuel, namun dia tidak beranjak dari  kendaraan tersebut.   Dia   dipukul,  tapi  dia   tidak   melepaskan cengkeramannya. Kemudian sebuah tembakan, dan Manuel  pun terdiam.  Saya  kehilangan kontrol, dan  berlari  ke  air terjun  sambil  berteriak, saya ingin mati  dengan cepat. Saya  tidak tahan melihatnya lagi. Saya mempermudah  tugas kejam mereka.  Para  pembunuh  mengelilingi  saya,  dalam sekejap  saya mengalihkan  pikiran saya  ke  Tuhan.  Saya mendengar sebuah ledakan dekat telinga saya. Pada saat itu kepala  saya terasa panas terbakar, saya jatuh tersungkur setengah  sadar,  namun  tidak  kehilangan  ingatan   sama sekali,  saya  terguling-guling  menggelundung   beberapa   meter. Tubuh saya menabrak pohon-pohon kecil,  batu-batuan dan sebagainya.

Saya mendapatkan kekuatan. Tiba-tiba ketika saya baru sadar  bahwa  saya selamat dari mimpi buruk,  tangan  saya dengan  susah  payah  mencengkeram segala  sesuatu.  Saya mencengkeram  rumput-rumput, batu-batuan, akar dan pohon- pohon  kecil  agar saya tidak terus melorot  dan  akhirnya jatuh ke tempat yang lebih keras. Tidak lama kemudian kaki saya  terasa  sudah  cukup kuat  untuk  merangkak  mencari tempat  beristirahat. Jari-jari saya mencengkeram  dengan kuat  sebuah  pohon  kecil.  Dasar  jurang  di  bawah tak kelihatan,  ke atas juga tidak ada bedanya.  Saya  menutup mata saya. Rasa sakit karena luka tembakan di kepala  saya sangat  menyiksa.  Saya merasakan ada  cairan  panas  yang turun  ke leher saya. Saya takut kehilangan  banyak  darah dan  kekuatan  untuk naik ke jalan. Untunglah peluru  itu hanya   memberikan  luka  yang  tidak  begitu  lebar   dan berbahaya.  Saya  tidak tahu apa yang  akan  terjadi  jika Fretilin melihat tubuh saya. Karena malam gelap dan  tanpa bulan, mungkin mereka tidak melihat saya.

     Apa  pun  yang sedang terjadi, saya  tidak  bergerak. Saya  menutup rapat mulut saya untuk menahan  rasa  sakit. Saya mendengar suara-suara dan orang tertawa di atas.

     Saya  mendengar  suara  land-rover.  Kemudian   suara pintu-pintu  ditutup. Lalu saya mendengar  mobil  meraung beberapa kali. Saya kira mereka memutar haluan mobil. Saya tunggu.  Kemudian  kendaraan tersebut mulai pergi  karena   suaranya  terdengar semakin menjauh. Saya  mulai  bergerak naik dengan sangat perlahan dan sangat waspada. Saya sudah merasa  kuat. Saya  takut jatuh ke  dasar  jurang.  Terus bergerak naik dengan kaki terjengkang-jengkang ke sana  ke mari.  Terkadang  kaki saya  terpeleset, namun  jari-jari tangan  saya selalu mencengkeram akar pohon atau  sebatang pohon,  tangan saya selalu di depan mencari tempat  datar. Jari-jari  tangan saya sudah  lecet-lecet  dan  berdarah, namun   saya  tidak  merasa  sakit. "Naik,  naik",   saya menyemangati diri sendiri. Kepala saya yang terluka tidak menyusahkan  saya  lagi.  Mungkin  keinginan  saya   untuk berupaya selamat yang membuat saya tidak  merasa  sakit. Tubuh saya basah dengan keringat. Beberapa yard lagi, saya sudah   dapat  melihat  ujung  jalan.  Saya  beristirahat sebentar dan mempertajam telinga dan mata saya. Tidak  ada suara  sama sekali. Tidak ada yang  mencurigakan.  Sekitar tiga atau empat langkah lagi saya sudah berada di jalan.

     Saya melihat sekeliling, Tidak ada orang. Namun  saya tetap berada di jalan selama beberapa menit. Saya berdiri, dan  berjalan  cepat  ke  seberang  dan menghilang  dalam ilalang.  Saya  terus berjalan. Luka mulai  terasa  pedih, saya ikat dengan baju. Saya terus berjalan dengan mengamil lintasan   yang saya  kenal.  Sementara   berjalan   saya memperkuat   ikatan   kepala  saya  dan   luka   berhenti mengeluarkan  darah.  Saya selalu waspada,  takut bertemu Fretilin  yang tak terduga atau seorang  penjaga  Fretilin terpisah dari kelompoknya. Dengan terus mengikuti  jalan-  jalan  setapak  biasanya  dan jalan  ternak  saya  menuju Rotuto, dimana mertua saya tinggal.

     Setelah  saya merasa cukup jauh, saya berhenti  untuk beristirahat karena sekujur tubuh saya terasa sudah sakit. Saya berbaring terlindung oleh ilalang yang tinggi-tinggi. Dalam  benak saya hanya ada keinginan untuk hidup. Segala sesuatu  masih nampak seperti mimpi, tidak nyata.  Setelah terasa lebih nyaman saya berdiri, dan terus berjalan.

     Ketika  saya akhirnya sampai ke rumah mertua saya  di Rotuto,  hari  sudah larut malam.  Dengan  mengendap-endap agar tak bersuara, saya mendekati rumah itu. Anjing-anjing mulai menyalak, namun ketika mereka mengenali saya, mereka berhenti dan mencium tangan saya. Kemudian, saya  perlahan mengetuk pintu. Pertama kali tidak ada jawaban, saya ketuk lagi.  "Siapa  itu", mereka bertanya  dari  dalam.  Dengan penuh  rasa takut saya jawab perlahan: "Ini  saya,  Moniz, tolong  bukakan  pintu".  Kembali sepi,  tidak  ada  suara langkah  kaki. "Ini saya, buka pintunya", kata saya  lagi. Kemudian  terdengar suara-suara di dalam.  Saya  mendengar langkah-langkah  kaki mendekati pintu, dan  pintu  dibuka. Saya  masuk  melayang seperti seekor  kucing. Mertua  dan isteri  saya terngaga keheranan melihat  saya  seolah-olah saya  ini hantu. Namun keheranan  ini  hanya  berlangsung beberapa  detik. Pintu ditutup. Semua ingin  memeluk  saya secara bersamaan. Saya memberikan tanda-tanda dengan  jari saya, jangan ribut. Kemudian saya memeluk erat isteri saya tercinta dan kami berdua mulai terisak-isak. Dan  semuanya   kemudian ikut menangis. Kami menangis bahagia  saat  itu, kami  menangis karena akhirnya kami dipertemukan  kembali. Kami menangisi kecemasan dan penderitaan.

     Oh   Tuhan,   ....!  Tak   seorang   pun   mengajukan pertanyaan.  Keadaan tubuh saya yang penuh bekas luka  dan memar   sudah  merupakan  jawaban  terhadap   pertanyaan- pertanyaan  yang  ada dalam benak  mereka.  Kemudian saya mendengar  suara-suara dari dapur. Isteri saya  melepaskan perban-baju di  kepala saya dan  dia  memeriksa  lukanya. Kemudian  dia menggandeng saya ke kamar mandi  dan  dengan handuk basah membersihkan tubuh saya. Dengan hanya memakai sarung  saya  duduk di ruang makan. Kemudian  isteri saya pergi ke dapur dan kembali membawa air panas. Dibantu oleh ayahnya, isteri saya membersihkan luka dengan sangat hati- hati dan mengoleskan obat dan memakaikan perban.

     Setelah  mengobati  luka saya,  mereka  menghidangkan makanan   hangat,  meskipun  hanya  sedikit  namun   cukup menambah kekuatan saya. Saya tidak makan sedikitpun selama beberapa  hari. Kemudian saya tertidur. Namun  saya tidak tidur  nyenyak.  Saya masih ingat eksekusi  mengerikan  di Hat-Nipa, dimana semua teman saya dibantai. Terkadang saya terbangun gemetar ketakutan. Hanya melalui keajaiban  saya bisa  lolos  dari  drama  berdarah  yang  mengerikan  itu. Ledakan  keras  di dekat  telinga  saya.  Terguling-guling menuruni jurang, saya tidak bisa tidur. Saya membuka  mata saya  dan semua orang yang saya  cintai  menunggui  saya, seolah-olah  mereka menunggu orang yang  sedang  sekarat.   Dari  mata  mereka, saya melihat mereka  semua  mencintai saya,  dan  mereka menyuruh saya untuk  tidur. Tapi  saya tidak  bisa tidur. Eksekusi mengerikan di  Hat-Nipa  masih membayang di benak saya.


Sejalan  waktu, saya semakin tenang dan pikiran  saya mulai   tertata.  Saya  masih  ingat  ketika   orang-orang Fretilin   menggunakan  senapan-senapan  "Mauser"   untuk menembak   teman-teman  saya  yang  malang  di   Hat-Nipa. Senapan-senapan  tersebut dibawa oleh mantan  sersan  Jose Alexandre Gusmao,  Tome  Sea-Coli  dan  seorang  Fretilin lainnya,  Antonio, yang di Same bertugas  sebagai  penjaga penjara.  Saya  juga ingat Tome yang menarik platuk  yang membunuh saya. Pemandangan yang saya saksikan dengan  mata saya  sendiri  terus melintas seperti dalam  film.  Sekali lagi saya menutup mata saya. Akhirnya saya tertidur juga.

     Ayam  berkokok,  burung-burung  bernyanyi,  hari  pun mulai merekah. Suatu hari baru, saya sadar dan masih hidup sepenuhnya. Mereka menyuguhi saya kopi dan makanan ringan. Kehadiran saya di rumah mertua saya bisa membahayakan jiwa mereka, termasuk isteri saya. Orang-orang Fretilin ada  di mana-mana.

     Pada  jam  7 pagi, saya berbaring  di  tempat  tidur, mengistirahatkan  tubuh  saya yang hancur  tersiksa.  Saya merasakan  sesuatu  terjadi  di depan  pintu.  Apakah  itu Fretilin dalam pencarian mereka dari rumah ke rumah?  Saya menjadi takut. Saya mendengar orang-orang berbicara dengan suara   rendah  dan  lebih  berhati-hati,   telinga   saya   menangkap  suara ciuman. Siapakah yang datang?  Tiba-tiba, seperti seorang aktor memasuki panggung, saudara ipar saya Bento Dos Reis Fernandes yang juga seorang tawanan  muncul di depan saya. Kami berpelukan. Kemudian kami bergandengan ke  ruang  makan.  Sanak keluarga  saya  sibuk  menyiapkan segala  sesuatu  di meja makan. Saudara  ipar  saya  makan seperti   seekor  babi.  Saya  biarkan  dia  makan   tanpa mengganggu. Setelah itu saya bercerita kepada saudara ipar saya   tentang  semua  event,  seperti  saya  lolos   dari cengkeraman Fretilin, semua penderitaan selama di  penjara hingga  malam  saya merasakan  kematian.  Pada  gilirannya saudara  ipar saya menceritakan penderitaannya di  penjara dan event-event lain yang saya anggap perlu disebutkan  di sini.

     Pada  tanggal  27 Januari '76, menurut  saudara  ipar saya,  para tawanan yang dibawa ke Hola-Rua, kembali  pada hari  yang sama dan ditawan di "Motel". Pada  tanggal  29, orang-orang  Fretilin memisahkan 25 tawanan dan menaikkan mereka  ke atas truk. Mengenai tempat  tujuan  orang-orang ini, saya mendapatkan laporan dari seorang yang  selamat. Menurutnya, 25 orang tersebut secara keseluruhan tangannya diikat  ke belakang. Kemudian mereka dinaikkan  truk  yang diparkir di depan penjara (Motel). Lalu kendraan menuju ke sungai,  dan para tawanan tahu bahwa mereka akan  dibunuh. Dalam  truk juga ada empat penjaga bersenjata. Pada  suatu saat  seorang  tawanan entah bagaimana  dapat  melepaskan ikatan  dan  mulai melepaskan ikatan  teman-temannya.  Dan   orang-orang   yang  ikatannya  sudah   terlepas   membantu melepaskan ikatan orang-orang lain dan seterusnya.  Segala sesuatu  dilakukan dengan sempurna tanpa  diketahui  para penjaga yang mengawasi. Ketika kecekpatan truk  diturunkan untuk  menikung,  para  tawanan  menubruk para  penjaga, mengambil  senjata  mereka dan  lari  memasuki  perkebunan kopi.  Dalam  pelarian  tersebut,  Lino  Pereira   kurang beruntung  dan  dia mengakhiri hidupnya di  sana.  Kakinya cidera  karena melompat dari truk. Dia menghabiskan  waktu terlalu   banyak   untuk   bangun.   Kelambatan   tersebut memungkinkan  sebuah  kendaraan ringan yang  sudah  sampai lebih   dahulu  kembali  untuk  missi  menangkapnya.   Dia berusaha  untuk lari namun malang nasibnya dia  tertembak. Para  pelarian  yang  saat itu  berlari membawa  senjata, mendapatkan  nasib baik, memanfaatkan setiap tikungan dan semak.  Para  penjaga Fretilin  tidak  berusaha  mengikuti mereka,  dibingungkan  oleh  kesemberonoan  mereka,   dan mungkin takut, karena para pelarian membawa senjata. Empat penjaga dieksekusi karena missi mereka gagal. Diantara  25 pelarian,   saya  hanya  ingat  nama-nama   Lino   Pereira (terbunuh),  Mateus De Araujo, seorang tokoh  Apodeti  di Ataudo,  sudah  bersama kami, Miguel dan  John  Carceres. Sebagai  suatu  catatan  kami  tambahkan  bahwa  beberapa pelarian  ditangkap  kembali oleh  Fretilin  dan  kemudian dibunuh.

     Setelah  rincian  peristiwa  di  atas,  kami  memulai kesaksian saudara ipar saya Bento ketika masih di  penjara   "Motel". Dia mengatakan kepada saya bahwa pada tanggal  29 Januari,  malam  hari, dalam hari  peristiwa  pelarian 25 orang yang sama, para tokoh dan komandan Fretilin membahas situasi tersebut dalam pertemuan panjang, yang  memutuskan  membunuh teman kami dalam dua penjara "Motel" dan "Pasar", dengan  melemparkan  granat tangan  dan  menyapu   segala sesuatu  dengan  suatu tembakan senjata otomatis.  Karena terkejut,  banyak tawanan bahkan tidak tahu  bahwa  mereka sedang  sekarat.  Lain-lainnya seperti saudara  ipar  saya Bento, Ferrao (seorang Kapten partisan), Jose Caldas, yang meloloskan diri pada ledakan-ledakan dan tembakan pertama, lari ke jendela-jendela yang daun-daunnya sudah  terlepas, memecah kaca, melompat keluar dan berlari ke semak-semak. Dengan berhati-hati mereka menjauh dari kota. Saudara ipar saya  menuju  ke arah Rotuto, tempat mertua  saya.  Kapten Ferrao mendapatkan  perlindungan di rumah  temannya,  dan lainnya  hanya terlunta-lunta  dalam  semak-semak  hingga bertemu   pasukan  gabungan. Saudara  ipar   saya   Bento mengatakan bahwa, mungkin tidak ada lagi tawanan yang bisa lolos   dari  pembunuhan  massal.  Dia  menambahkan bahwa Fretilin  sudah memutuskan untuk memusnahkan para  tawanan sebagai balasan terhadap larinya 25 orang tawanan.

     Diliputi  dengan kerahasian dan kehati-hatian  sangat tinggi,  saudara ipar saya Bento, dan saya  hanya  tinggal sepuluh  hari.  Kami  harus segera  pergi,  karena  berita kelompok-kelompok  Fretilin  terus  menyisir   semak-semak berusaha menangkap kembali 24 orang yang lari pada tanggal   29  Januari.  Kelompok-kelompok  lain  sedang  menyelidiki rumah-rumah untuk tujuan yang sama. Dengan mengetahui itu, kami  memutuskan  untuk meninggalkan daerah  mertua  saya. Dalam  perlindungan  malam, dengan rasa sakit  luar  biasa kami  mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang  yang kami cintai,  berangkat  masuk hutan.  menuju  ke  daerah gunung   Kablak.  Kami  mencapai  daerah  tersebut   tanpa kesulitan, dan tinggal di sana selama 25 hari. Dalam  pada itu kami menghubungi orang-orang yang dapat kami percaya. Kami  ketahui bahwa pasukan gabungan sudah  memasuki  kota Ainaro  pada tanggal 22 Februari dan mereka memblok  semua jalan dan daerah-daerah sekitarnya berada di bawah kontrol mereka.  Pada  waktu yang sama pasukan-pasukan  kami  juga sudah memasuki Same dari Betano. Dengan demikian,  memaksa Fretilin untuk menyelamatkan diri, mencari perlindungan di daerah Kablak. Karena fakta ini, maka tempat persembunyian kami menjadi berbahaya bagi kami dan kami memutuskan untuk pergi ke Ainaro.

     Dalam  periode singkat kami menjadi tahu  posisi  dan strategi  Fretilin, sehingga kami bisa  menghindari  suatu pertemuan  dengan  mereka,  dengan  mengambil  jalan-jalan pintas,  selalu pada malam hari. Akhirnya kami  sampai  di Ainaro  pada  tanggal 12 Maret 1976.  Kami  disambut  oleh pasukan  gabungan  dengan  segala  perhatiannya.   Setelah observasi kami diberi makan, pakaian dan sepatu. Saya bisa katakan itu merupakan suatu bantuan persaudaraan riil dari mereka,  yang mengorbankan jiwanya untuk membebaskan  kami  dari tindasan Fretilin.

     Karena  Bapak Moniz Maia dan Bapak Januario  Carvalho memiliki  tempat-tempat   tujuan   berbeda   maka    kami mengetengahkan   yang  terakhir  ini   untuk   mengulangi

kesaksiannya:

     "Pada tanggal 31 Desember 1975, sekitar pukul 8 pagi, sebuah  truk yang membawa lima orang Fretilin  bersenjata, yang dipimpin oleh mantan Sersan Manuel Pereira yang  pada waktu  itu  menjadi komandar militer Fretilin  di Ainaro, mantan Kopral Afonso dan Constantino tiba di depan penjara (motel). Di depan pintu, Manuel Pereira  memanggil  nama- nama  38  tawanan dan membariskan mereka di  luar.  Ketika mereka  dipanggil, mereka menatap kami semua,  seolah-olah memperingatkan   kami,   jangan  melupakan   janji  untuk bercerita  kepada sanak keluarga tentang  penderitaan  dan tanggal Fretilin menembak mereka. Pada waktu  itu,  suatu panggilan  berarti kematian.  Setelah  apa  yang  terjadi terhadap  teman-teman  kami yang di pinggir  sungai  Same, kami  menganggap  mereka akan mengalami akhir  yang sama. Jika  sebelumnya kami sering berdo'a, maka  terakhir  kami berdo'a 24 jam kepada Tuhan, karena orang-orang yang  mati terkutuk  tidak  memiliki harapan. Pada  hari  yang  sama, melalui  orang-orang sipil yang membawakan  kami  makanan, kami memohon agar Bapak Mariano datang menjenguk kami agar kami  dapat  menghapuskan dosa-dosa kami  dan  siap  untuk kematian.  Sebagai  suatu catatan  saya  ingin  mengatakan bahwa  Bapak Mariano diperbolehkan melaksanakan  Missa  di   dua  penjara tersebut dengan menggunakan  pengeras  suara, dia berada di luar dan para tawanan di dalam penjara. Cara baru yang direkacipta Fretilin. Sekali pun demikian, Bapak Mariono tidak menyerah. Dia melakukan semua tugasnya tanpa mengindahkan kesulitan-kesulitan yang diciptakan Fretilin.

     Dalam  Missa,  ketika sampai saatu  untuk  memberikan Perjamuan Suci, para penjaga pastor di dalam.

     Kembali ke tanggal 31 Desember 1975.

     Dalam  memenuhi permintaan kami, Bapak Raphael,  yang dikawal  ketat,  tiba di penjara pada pukul 4  pagi.  Kami tahu pada hari berikutnya, bahwa pastor yang baik tersebut mengalami  perdebatan  sengit dengan para  tokoh Fretilin untuk  mendapatkan  ijin  mengunjungi  kami.   Orang-orang Fretilin  melalui   ancaman-ancaman   ingin   menghindari kunjungan  pastor tersebut dengan segala  cara.  Seseorang mengatakan  kepada  saya bahwa pada suatu tahap  tertentu Bapak Raphael mengatakan kepada para tokoh Fretilin: "Saya akan  mengunjungi orang-orang yang mengundang  saya.  Saya tidak  peduli apakah  mereka berada  dalam  penjara  atau tempat  lainnya. Saya akan ke sana dengan atau tanpa  ijin anda.  Saya hanya patuh kepada Tuhan dan para atasan  saya dalam   Gereja.  Jika  anda  ingin  membunuh  saya   dalam perjalanan, anda boleh melakukannya, namun anda tidak bisa melarang   saya mengunjungi  orang-orang  saya".   Seraya berkata begitu, dia berdiri dan pergi.

     Dengan  demikian  kami  bertemu  dia  di  sana.  Dari beranda   dia  berbicara  pada  kami  dengan   menggunakan   pengeras  suara. Suaranya sungguh menyejukkan  hati  kami. Bapak  Raphael mengatakan pada kami, karena tidak  mungkin untuk  mendengar  pengakuan dari setiap  orang,  maka dia meminta  kami  untuk mengingat  dosa-dosa  kami,  kemudian memohon ampun  kepada Tuhan. Dengan  demikian,  itu  kami lakukan.   Akhirnya,  para penjaga  membuka   pintu   dan mengizinkan  Bapak Mariano masuk, memberikan  tanda  salib suci  di  kepala  kami. Kemudian dia  keluar,  kami  masih sempat melihat linangan air matanya.

     Kini,  kami sudah siap. Saya merasa jauh lebih  baik.Sekarang kami boleh mati kapan saja, namun saya tidak bisa berpikir  mengenai orang-orang yang saya cintai.  Mungkin, saya tidak akan pernah melihat mereka lagi.

     Pada tanggal 1 Januari 1976, tahun baru, banyak orang yang  dari bertemu dengan Bapak Mariano,  membawakan  kami makanan enak.

     Ketika   kami  makan,  kami   memperoleh   kesempatan mendengar  dari orang-orang sipil tentang apa yang  sedang berlangsung  di  luar penjara.  Mereka  mengatakan  bahwa, sikap  Bapak  Mariano, telah banyak  menyentuh  hati  para tokoh  Fretilin, sehingga mereka mengatakan  bahwa  mereka akan mengobati para tawanan. Mereka juga mengatakan  bahwa Nicolau  Lobato  sudah mengadakan  suatu  pertemuan  massa untuk  menyatakan bahwa, pembantaian yang  dilaksanakan  di sungai  tanpa sepengetahuan Komite Sentral Fretilin  (FCC) dan  dia menambahkan bahwa orang-orang yang bersalah  akan dihukum.  Seperti halnya  kami, mayoritas  penduduk  tidak mempercayai kata-kata Nicolau, karena, pada hari yang sama dia  memerintahkan tahanan rumah terhadap  Bapak  Mariano. Kata-kata  dari para tokoh Fretilin tidak akan  meyakinkan siapa pun.

     Pada  tanggal  2 Januari 1976, mantan  sersan  Manuel Pereira  kembali  ke penjara kami pada tengah  hari,  yang diiringi  oleh  mantan Kopral Capriano De  Araujo,  mantan sopir Jose dan dua orang lainnya, saya tidak tahu namanya. Sebagaimana  pada  tanggal 31  Desember,  Manuel  Pereira, memanggil  nama-nama  dari suatu  daftar,  termasuk  saya. Nama-nama tersebut masih saya ingat: Jose  Trindade  dari Ermera,  Manuel  De  Almeida, Bere-China,  Albino-Barros, Gabriel  Trinoade dan Araujo de Jesus. Satu per satu  kami menuju beranda. Sebuah "Unimog" diparkir di depan penjara. Tiga penjaga bersenjata diposisikan mengawasi kami. Manuel Pereira,  kemudian pergi, mungkin  Same.  Seseorang  yang datang  bersama Pereira mengatakan kepada kami, kami  akan dipindahkan  ke Ainaro. Setelah begitu banyak  kebohongan, kami  tidak  percaya lagi dengan kata-kata  mereka.  Namun kami  percaya bahwa kami akan dibunuh di sungai,  ke  mana kami   sudah  dipersiapkan.  Kami  berdo'a.   Kami   sudah memberikan pengakuan. Bersama Tuhan kami tidak takut mati. Kami  diperbolehkan  duduk.  Dalam waktu  menunggu   yang menyedihkan  tersebut, sekali lagi saya  berpikir tentang orang-orang  yang saya cintai dan teman-teman  saya,  yang tentu  saja tidak akan pernah saya lihat  lagi.  Ini  tak terelakkan.  Hanya  orang-orang seperti  saya  dan  lain-  lainnya  yang jatuh ke tangan Fretilin dapat menghapuskan kecemasan  dan  kesedihan pada saat-saat  pemanggilan  dan menunggu yang sangat mempengaruhi kami.

     Fretilin,  saya tidak tahu bagaimana  mereka  belajar menguasai   diri  dalam  menyiksa  korban-korban   mereka. Memanggil, menunggu, membawa para tawanan ke tempat-tempat pembunuhan  dan  kemudian, mereka mengatakan  "Lebih  baikuntuk  kami  mati  besok"  dll.  Itu  akan  menghancurkan seseorang  secara  psikologis. Saya merasa,  bahwa  itulah saat-saat terakhir kehidupan kami.

     Pikiran-pikiran  tersebut terganggu  oleh  kembalinya Manuel Pereira dan kelompoknya. Dengan perut kosong, hanya makanan  kecil sehari sebelumnya, kami diperintahkan  oleh Manuel  Pereira untuk naik "Unimog". Ini  terjadi sekitar pukul  5  sore.  Mobil disetir oleh  Manuel  sendiri.  Dua orangnya duduk bersamanya dalam kabin, dan lainnya  duduk bersama kami. Kendaraan menempuh jalan Same-Ainaro. Apakah itu tujuan kami sebenarnya?

     Apakah orang-orang Fretilin tidak akan  mempersiapkan suatu  simulasi?  Kendaraan terus melaju di  jalan  Ainaro dengan  kecepatan sedang. Para penjaga yang  bersama  kami duduk  diam,  begitu  juga  kami.  Masing-masing  mungkin berpikir   tentang  apa  yang  paling   mereka   takutkan. Akhirnya, tanpa suatu insiden kami sampai di kota  Ainaro pada  pukul  11  malam. Mobil diparkir  di  depan  Akademi Kepandaian  Putri, yang sekarang dirubah menjadi  penjara. Kami   diperintahkan   untuk  masuk,  kejutan   apa   yang 
dipersiapkan   untuk  kami.  Kami  tidak  percaya   dengan penglihatan  kami. Di dalam, antara  lain,  kami  melihat teman-teman  kami  yang dibawa dari Same pada  tanggal  31 Desember.   Kami  menganggap  mereka  sudah   mati.  Kami berpelukan satu sama lain seperti bertemu seorang saudara, yang dikira sudah mati.

     Kami  semua  ingin tahu apa yang terjadi  sejak  kami dipisahkan.  Kami menceritakan kejadian-kejadian di  Same. Pada  giliran  mereka, teman-teman kami  bercerita  kepada kami apa yang terjadi dengan mereka.

     Mereka mengatakan kepada kami, bahwa Manuel  Pereira, Komandan  Fretilin  Ainaro,  telah  memerintahkan  Nicolau Lobato  selama  kunjungannya di  sana,  untuk  memindahkan semua tawanan kelahiran Ainaro atau dengan sanak  keluarga di  Ainaro ke penjara-penjara di sana, dengan  mengatakan, itu  adalah  keinginan warga setempat yang  telah  meminta Pereira  sebelum  Nicolau  Lobato  menyetujui   permintaan Pereira dan berkat dialah kami semua berada di sana, masih hidup dan ada harapan untuk selamat. Kami bertanya tentang Luiz  Dos  Reis  Araujo,  yang  kami  ketahui  berada   di Rumahsakit  Ainaro  Ketika di Alto-Flecha,  karena  agresi brutal  di  Maubisse, dia tidak bisa berjalan  dan  dibawa mobil  ke  kota  Ainaro. Mereka katakan,  Luiz  R.  Araujo sekarat ketika tiba di Ainaro. Ketika dia dikelilingi oleh para eksekutornya, Domingos Pereira dan kelompoknya,  Luiz mengatakan kata-kata terakhir ini: "Saya tahu bahwa  darah saya  dan  semua teman saya yang tertumpah di  atas  pulau   Timor  ini  pasti  untuk bendera merah  putih  yang  akan berkibar  di  atas pulau ini. Komunis pada  akhirnya akan tunduk.  Kami tidak akan mati semuanya.  Teman-teman  kami yang selamat  akan  menceritakan apa  yang  anda  lakukan terhadap kami".

Mendengar  nama  Luiz  Araujo,  orang-orang  Fretilin ingin  segera  menghabisinya,  namun  dicegah  oleh   staf rumahsakit,  yang  meminta  mereka  pergi.  Sendiri,  Luiz meninggal dalam damai. Pada akhirnya jazadnya beristirahat dari  semua penderitaan berat dan mengerikan.  Dia  adalah korban para agresor Fretilin.

     Kemudian,  kami  mulai menyesuaikan diri.  Kami  tahu bahwa  teman-temanu kami, sejak mereka berada  di  penjara ini,  boleh kami katakan, telah menerima perlakuan  sangat baik dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan sebelumnya di penjara-penjara  lain. Informasi ini benar. Kami  menerima makanan  yang kurang-lebih baik dengan  kuantitas  rerata. Dalam  penjara baru tersebut, kami diherankan  oleh  tidak adanya sessi-sessi penyiksaan yang tak manusiawi, biadab.

     Pada  tanggal  4  Januari,  kami  mendapatkan  berita mengerikan bahwa eksekutor kami Domingos Pereira berada di Ainaro.  Dengan  hati waswas, kami ingin tahu  apa  tujuan kedatangan   orang  sadis  itu  ke  Ainaro.   Berita  itu diinformasikan  oleh salah seorang penjaga kami.  Beberapa jam  kemudian, para penjaga yang sama,  mengatakan  kepada kami,  bahwa  Domingos  Pereira  ingin  minta  ijin   dari Komandan   Fretilin  lokal  untuk  membawa  Bapak   Lucia   Encarnacao   kembali  ke  Maubisse  untuk   diadili   oleh "Fretilin  Ministers  Council" (Dewan  Menteri  Fretilin). Permintaan tersebut ditolak oleh Komandan Manuel  Pereira dan  didukung  oleh  mantan Kopral Afonso  Neves,   yang mengatakan  bahwa tinggalkan kota ini. Domingos  Pereira, dalam  menghadapi  penolakan tegas dari kedua  orang itu, menjadi nervous  dan berusaha  untuk  membujuk  keduanya, namun  itu tidak merubah pendirian mereka. Dalam  diskusi- diskusi,  Afonso  Neves mengatakan:  "Para  pemimpin  kami terus  mengatakan  setiap saat bahwa kami  harus  berjuang untuk  kemerdekaan. Namun jika kita terus membunuh setiap orang,  maka siapa yang akan mengerjakan lahan kita?  Anda sendiri?

     Dengan   argumen  ini  pun  Domingos  Pereira   tidak menyerah,  betapa besar keinginannya untuk membunuh  Bapak Lucio. Dia pergi meninggalkan pertemuan dengan wajah masam dan berjanji untuk kembali lagi.

     Bapak Lucio Encarnacao mengetahui peristiwa  tersebut dan  kami menasehatinya untuk mensimulasi  suatu  serangan jantung.  Dengan berteriak, kami memanggil  para  penjaga, mengatakan  bahwa teman kami sakit parah. Kami tahu  bahwa di  rumahsakit  Bapak  Encarnacao  akan  lebih  terlindung terhadap  ide-ide  pembunuhan dari Domingos  Pereira.  Itu terkabul. Teman kami diopname hingga tanggal 30 Januari.

     Pada tanggal 31 Januari, banyak orang Fretilin muncul di  Ainaro, yang dipimpin oleh mantan Letnan  Guido.  Kami mengetahui  mereka  akan bertemu dengan  komandan  militer  Fretilin  Ainaro  untuk mencari  pemecahan terhadap  para tawanan Ainaro.

     Kami  selalu diberi informasi oleh beberapa  penjaga, kami   boleh  menghadiri  sessi-sessi   pertemuan.   Dalam pertemuan  pertama suara terpecah dalam dua  faksi,  satu, mayoritas   yang  tidak  setuju  dengan pemusnahan   para tawanan,  dan kelompok lain yang  menginginkan  pemusnahan sepenuhnya. Diskusi-diskusi berlangsung selama berjam-jam. Kedua faksi mempresentasikan opininya. Karena  opini-opini tidak  mencapai kesepakatan, maka pimpinan, mantan  Letnan Guido,  menunda pertemuan pada hari  berikutnya.  Kelompok yang  menentang pemusnahan dipimpin oleh Manuel  Pereira, dan kelompok lain untuk pemusnahan dipimpin oleh Domingos Pereira.

     Pada  tanggal 1 Februari 1976, Tokoh sadis Guido  dan boneka-bonekanya  memulai lagi pertemuan untuk  memutuskan nasib kami. Guido, yang ingin mengakhiri pertemuan  dengan cepat,   mengusulkan  untuk  mengambil  keputusan   dengan voting. Kemudian, ini dilakukan. Hasilnya tak  terelakkan, mayoritas   memberikan   suara  menolak   pemusnahan   dan pemindahan para tawanan dari Ainaro, yang membuat Domingos Pereira dan para pendukungnya sangat marah.

     Dalam   pada   itu,   Guido,   untuk    menyelesaikan permasalahan  dengan cepat, bertanya pada  Manuel  Pereira apakah  semua tawanan U.D.T. atau Apodeti.  Mantan  Sersan Manuel Pereira berbohong, dengan mengatakan bahwa semuanya U.D.T.,  meskipun dia tahu bahwa banyak tawanan,  misalnya 
saya sendiri, adalah Apodeti. Maka, Guido berkata,  karena sebelumnya U.D.T. berjuang untuk kemerdekaan, maka menurut pendapatnya  semua tawanan harus dimaafkan. Karena  orang- orang yang hadir hanya kaki tangan Domingos maka dia dapat mempertahankan  posisi awalnya. Guido memerintahkan  bahwa semua tahanan di Ainaro dibebaskan dan dipulangkan. Namun, mengenai  Lucio (Mantan Administrator  dalam  Pemerintahan Kolonial  Portugis) Guido mengatakan, orang tersebut  akan tetap ditahan hingga keputusan-keputusan baru, karena  dia harus menghadapi pengadilan rakyat (popular justice).

     Dengan mengetahui keputusan akhir, Lucio  Encarnacao, yang  sudah  kembali ke penjara pada tanggal  30  Januari, menjadi  sangat  sedih,  tersiksa oleh  ide  bahwa  segera Fretilin akan membunuhnya.

     Manuel  Pereira  dan  Afonso  Neves,  dengan  menerka maksud   pemimpin Fretilin  mengenai  Bapak   Encarnacao, memutuskan untuk menyembunyikannya. Mereka  menyembunyikan Bapak Encarnacao di sebuah batu karang (coral).

     Hari-hari   berikutnya,   suatu   kelompok   Fretilin mendatangi komandan militer Ainaro untuk mengatakan mereka mendapatkan  perintah  dari para pemimpin  untuk  membawa Bapak  Lucio  Encarnacao. Manuel Pereira, pada waktu  itu lmenjadi  komandan Ainaro, mengatakan kepada mereka  bahwa Bapak. Encarnacao sudah dibawa hari sebelumnya oleh  suatu kelompok  lain. Kebohongan  tersebut  menyelamatkan  jiwa teman kami Lucio Encarnacao.

     Pada  tanggal  22 Februari pasukan gabungan  tiba  di  Ainaro,   akhirnya  kami   bisa   bernapas   lega.   Kami diselamatkan.  Kami adalah segelintir orang  yang  selamat dalam  melarikan diri dari Fretilin. Manuel Pereira  tidak lari.  Namun boneka-boneka Fretilin seperti Guido  Soares, Domingos  Pereira dan lain-lainnya yang berani di  hadapan para tawanan tak bersenjata lari seperti kucing ketakutan. Pasukan-pasukan  gabungan  bahkan tidak menembakkan  satu peluru  pun. Sejak jam-jam pertama, saya  berusaha dengan pasukan-pasukan  kami untuk memberikan semua  perlindungan yang perlu terhadap Manuel Pereira, karena dia saya  masih hidup.  Sekarang  ini, Manuel Pereira  tinggal  di  Ainaro menjalankan usahanya dengan bebas.


TTD

Januario


1 komentar:

  1. sekitar pukul 10 malam kami mendengar suara sebuah mobil yang berhenti dekat rumah. Kemudian pintu dibuka dan orang yang cukup kami kenal, Gusmao, seorang mantan sersan fanatik, yang diiringi oleh suatu kelompok kecil bersenjata, mengeluarkan selembar kertas dari sakunya. Dia mulai memanggil nama-nama, termasuk nama saya. Nama-nama yang dipanggil adalah: Jose Fernando Osorio Soares, Moniz Maia (saya sendiri), Mario Zuarez, Peter Mu, Domingos Osorio, Arlindo Osorio, Manuel Jacinto (semuanya anggota keluarga Osorio), dan Said Musah, Siapakah Gusmao yang dimaksudkan disini, tolong diperjelas sehingga tidak akan ada multi tafsir, karena Gusma hanya merupakan marga keluarga dan bukanlah nama seseorang., please dibalas setelah membacanya.

    BalasHapus