Senin, 27 Mei 2013

EYE WITNES - SAKSI MATA KEKEJAMAN FRETILLIN


P R A K A T A

Selama  empat abad rakyat Timor Timur menderita  dari tindasan  dan  teror kolonial. Namun demikian,  ini  tidak sekejam  penderitaan-penderitaan  mereka  dari  kekejaman-kekejaman  dan  pembunuhan-pembunuhan  membabi-buta   yang dilakukan  oleh sebagian kecil orang-orang mereka  sendiri yang menyebut diri mereka FRETILIN.

Pada  saat  otoritas-otoritas  Portugis  mengosongkan daerah jajahan mereka dan meninggalkan kevakuman  otoritas di awal tahun 1975, FRETILIN secara sepihak  mengambilalih kekuasaan  di Timor Timur dan mulai menteror  bukan  hanya orang-orang  yang  tidak  setuju  dengan   pengambilalihan kekuasaan  tersebut  namun  juga ribuan  rakyat  yang  tak berdosa.

Banyak orang dibunuh secara membabi-buta atau  disapu bersih yang akhirnya menimbulkan perlawanan sengit  terhadap  rezim  FRETILIN oleh orang-orang yang  menolak,  yang akan ditindas oleh kekuasaan komunistik FRETILIN dan  yang kemudian  mencapai  puncaknya dalam suatu  perang  saudara skala-penuh  di Timor Timur yang  menyebabkan  penderitaan manusia, kesengsaraan dan kelaparan.

Cerita  ini mendeskribsikan pengalaman  empat  orang saksi:  MONIZ MAIA, JANUARIO CARVALHO,  BENYAMIN  OLIVEIRA dan  JOSE  DOS SANTOS, yang lolos  secara  ajaib  diantara begitu  banyak  tawanan karena keagungan Tuhan  Yang  Maha Kuasa, berhasil keluar dari kurungan tak berperikemanusiaan FRETILIN. 

Semua  fakta  tersebut hanya  mengungkapkan  sebagian kecil dari kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh  FRETI-LIN. Pengungkapan fakta-fakta dalam booklet ini  dimaksud-kan sekali lagi mengingatkan orang untuk tidak  menginjak-injak, namun menghormati Martabat Manusia. 




KESAKSIAN BAPAK MONIZ MAIA

Saya  ditahan  di Same, sebuah desa  sekitar  80  mil

sebelah  selatan Dili, pada tanggal 27 Agustus 1975.  Saya
berada di rumah bersama sanak keluarga saya, ketika banyak
orang  Fretilin bersenjata, tentara dan orang-orang  mili-
sia, dari kelompok-kelompok brutal  menjarah dan menyerang
ke rumah-rumah di desa saya dan sekitarnya untuk  merampas
senjata-senjata  dan menangkap para simpatisan  UDT,  Apo-
deti,  Kota dan Trabalhista. Mereka mendobrak rumah  saya, 
sambil  berteriak memaki dan memberi saya  perintah  pena-
hanan.

     Sanak  keluarga saya memohonkan belas kasihan  sambil
menangis histeris, namun para penangkap saya memerintahkan
saya  untuk  mengangkat tangan saya dan  mulai  mengobrak-
abrik  isi rumah dalam mencari  senjata-senjata.  Tindakan
brutal ini diikuti dengan teriakan-teriakan histeris,  dan
perampasan barang-barang berharga. Mereka tidak memberikan
toleransi  terhadap  kaum lanjut usia dan  anak-anak  yang
begitu ngeri melihatnya. 

Setelah  mereka merampas semua yang  mereka  inginkan
saya  diseret  ke luar rumah dan mulai dipukuli  di  depan
sanak keluarga saya, yang tak berdaya untuk menolong saya.
Sepanjang  jalan ke penjara mereka tidak berhenti  memukul
saya,  dan  saya  dijebloskan  kedalam  sebuah  sel.  Saya
menemukan  para kolega saya semuanya  mengalami  luka-luka
memar  dan  mayoritas  menangis  karena  perlakuan   buruk
tersebut.  Selama  hari  itu  dan  hari-hari   berikutnya,
elemen-elemen  lain  populasi lokal  menyusul  kami  masuk
penjara  dan dipukuli. Serangan tersebut  tidak  berhenti.
Tidak  jarang  bahwa dari pagi  hingga  malam  orang-orang
Fretilin, datang dengan cambuk-cambuk kulit,  memperlihat-
kan  pemandangan-pemandangan serangan barbar  yang  mereka
lakukan  dengan tertawa terbahak-bahak hingga  kami  jatuh
pingsan. Untuk memperburuk penderitaan kami para penangkap
kami memberi kami hukuman tidak makan dan minum selama dua
hari.  Meskipun dua kali sehari kami  diperbolehkan  buang 
air  besar, namun kami tidak diberi air. Setelah dua  hari
mengerikan tersebut, sanak keluarga saya membawakan makan-
an untuk saya, namun mereka harus memberikan barang-barang
berharga  untuk mereka, khususnya kepada para  tokoh  yang
mengatakan  bahwa  hanya  dengan  cara  ini  mereka  dapat
melakukan  sesuatu  untuk mengurangi hukuman  kami  sejauh
mereka  memiliki  tuduhan-tuduhan  berat  terhadap   kami.
Apakah  itu  benar atau tidak, saya hanya  bisa  menikmati
makan pertama saya setelah empat puluh delapan jam, dengan
demikian  saya bisa mengisi perut saya yang  kosong.  Kami
tidak  mendapatkan makanan dari Fretilin, sejak hari  itu,
30  Desember  '75 hingga hari ketika saya  dipindahkan  ke
penjara  Aileu. Meskipun kami diberi makan,  namun  pende-
ritaan  kami tidak berhenti di situ. Sering sekali  sepan-
jang   hari  hingga  malam,  sebagian  besar   orang-orang
Fretilin  mabuk,  melakukan  interogasi-interogasi  bodoh.
Mereka  mendapatkan semua kebebasan untuk  memukuli  tubuh
kami  dengan  cambuk, dan menghina orang-orang  yang  kami
cintai.  Dalam  masa-masa  brutal  tersebut,,  orang-orang
Fretilin memuaskan diri mereka dengan memukul kami  dengan
handel  cambuk, memukul kemaluan kami dan  mereka  tertawa
terbahak-bahak menyaksikan tubuh kami menggeliat  kesakit-
an. Lain-lainnya, memaksa kami berdiri membelakangi mereka
untuk  memungkinkan ujung cambuk mendera kepala dan  wajah
kami dalam suatu gerakan membelit.

      Kebrutalan-kebrutalan  tersebut dilakukan dalam  sel-
sel  sempit,  sehingga tidak ada  gunanya  berusaha  untuk 
menutup  diri kami. Terkadang kami lari sembarangan  untuk
menghindar  dari  cambuk mengerikan  yang  nampak  seperti
seekor ular kobra ganas, namun kami hanya menabrak  teman-
teman  satu sel lainnya yang tergeletak tak sadarkan  diri
di  lantai  dan  lain-lainnya  gemetar  menunggu   giliran
mereka, meskipun sudah tergeletak di lantai. Mereka  tidak
akan berhenti. Sebaliknya itu membuat mereka semakin benci
dan  geram, setiap cambukan bersama dengan makian,  antara
lain:  "Bangunkamu, anjing .... bangun ...  atau  lainnya,
kutembak kepalamu". Biasanya, setelah dicambuk, kami  ham-
pir tidak bisa berdiri lagi. Energi manusia terbatas,  dan
kami mencapai tahap dimana kami tidak lagi merasakan kulit
kami  terkelupas,  tidak lagi bisa melihat  dan  mendengar
apa-apa.  Saya sendiri di masa-masa mengerikan  ini  biasa
merasakan  gelombang panas menjalar hingga  seluruh  tubuh
saya,  yang  membuat saya tidak bisa  melihat,  kehilangan
semua rasa bahwa saya masih hidup. Saya mengalami  ketidak
sadaran dan jatuh ke lantai.
 
      Tanpa  suatu perubahan nyata, situasi sedih ini  ber-
langsung  selama  sepuluh hari pertama  penahanan.  Secara
berangsur-angsur masa-masa barbar ini berkurang dan bahkan
saya berani mengatakan bahwa selama beberapa minggu cambuk
berdarah tidak lagi menyentuh kami.
 
    Setelah hampir dua bulan dalam penjara, berita-berita
mulai beredar bahwa beberapa diantara kami akan  dipindah-
kan ke Aileu. Itu memang terjadi.

     Pada  tanggal 9 Oktober 1975, sekitar pukul  8  pagi,
kami  dipisahkan  menjadi suatu kelompok  31  (tiga  puluh 
satu)  orang  dan dinaikkan ke sebuah truk.  Banyak  orang
Fretilin bersenjata naik truk bersama kami. Truk  menempuh
jalan  Dili yang sama. Ketika kami tiba di  Maubisse  kami
berhenti  di jalan utama kota tersebut. Truk  diparkir  di
tempat  terbuka.  Para penjaga bersenjata  tadi  bergabung
dengan lainnya yang lebih banyak dan membentuk dua barisan
di  belakang truk, dan kami dipaksa untuk turun  satu  per
satu.   Segera  setelah  kami  mencapai   tanah   "panitia
penyambut"  menyambut kami dengan tendangan,  pukulan  dan
hantaman popor senapan. Segera setelah tergeletak di tanah
seorang  Fretilin  lainnya mencambuki  tubuh  kami.  Semua
kebiadaban tersebut berlangsung seperti suatu  sabung-ayam
ketika semua orang itu berteriak dan mencaci serta  banyak
orang  lokal  berkumpul  di tempat  itu  dan  menyemangati
teman-temannya  yang biadab untuk menghabisi kami,  dengan
berteriak:   "Bunuh,  bunuh...."  Melihat  rintihan   kami
kesakitan,  orang-orang  aneh melompat  dengan  riang  dan
bergabung  bersama para penyiksa kami untuk ambil  bagian.
Semua kami, tiga puluh satu orang, satu demi satu melewati
cambukan-cambukan,  tendangan  dan  pentungan  orang-orang
Fretilin  yang berusaha bertindak sebagai  artis  jalanan.
Mereka  memanggungkan suatu pemandangan buas dan  primitif
untuk  kepuasan  publik  yang  mengelukan  dan   mendukung
mereka.  Saya  tidak dapat membayangkan  berapa  lama  itu
berlangsung. Semua kami, separoh diantaranya mati, setelah
perlakuan  brutal itu, dimasukkan kembali ke  dalam  truk,
dan  kami menunggu di bawah sengatan matahari yang  ketika 
itu  mencapai puncaknya. Disamping memar-memar di  sekujur
tubuh saya, kulit kepala saya terkelupas, yang hingga kini
saya  tidak tahu bagaimana kejadiannya. Teman-teman  saya,
dua diantaranya patah tulang rusuk, satu terkelupas  kulit
mukanya,  beberapa tergeletak tak sadar di atas  truk  dan
lain-lainnya hanya menangis.

     Kami  tidak  dibantu  secara  medis,  kami   berusaha
sendiri  menghentikan  pendarahan  luka-luka  kami  dengan
menggunakan sobekan-sobekan baju kami sebagai perban. Kami
berada di atas truk hampir dua jam dibawah sengatan  sinar
matahari tanpa makan dan minum.

     Panasnya sengatan matahari menambah penderitaan kami.
Luka-luka  menyebabkan  rasa sakit seperti  tikaman  pisau
panas dan rasa haus yang bukan kepalang. Rintihan-rintihan
rasa  sakit  melalui tenggorokan ke mulut  seperti  sebuah
bola  api  yang menyebabkan kami  muntah.  Mendengar  kami
meminta  air,  orang-orang Fretilin yang  duduk  di  bawah
pohon-pohon dalam posisi-posisi mengawasi menjawab  dengan
perkataan-perkataan:  "Tutup  mulutmu  anjing.  Jika  kamu
terus  menggonggong kamu akan mendapatkan hadiah  lainnya,
dan kamu akan mati".

Dengan  mengharapkan penghentian serangan  kami  diam
dengan pasrah. Ketika para penjaga yang bersama kami  dari
Same muncul, kami dipaksa berdiri. Mereka nampaknya  habis
makan-makan  dan  banyak  minum.  Segera  setelah   mereka
memasuki  kabin  kami  melanjutkan  perjalanan  ke  Aileu.
Meskipun  kami  menderita karena gonjangan  akibat  jalan-
jalan berlubang, namun tidak ada yang patut diketengahkan.

     Kami  tiba di Aieleu pada pukul 2.30 dini  hari.  Truk
diparkir 15 meter dari gudang ubi yang digunakan  Fretilin
sebagai  penjara.  Banyak orang  Fretilin  berseragam  dan
bersenjata serta orang-orang sipil, para pengikut  mereka,
mendatangi kami dengan wajah sinis. Dari orang-orang utama
Fretilin  yang  mendekati  kami,  Afonso  Redentor,   yang
kemudian  kami  kenal  sebagai sipir No.  1  kami.  Dengan
membentuk  barisan-barisan  seperti  di  Maubisse,  mereka
memaksa  kami  untuk melompat turun  dan  segera  disambut
dengan  pukulan-pukulan hingga kami tidak  sadarkan  diri.
Alat-alat  yang  mereka  gunakan  seperti  alat-alat  yang
mereka  gunakan  di  Same  dan  Maubisse.  Hukuman-hukuman
brutal  baru ini disertai dengan  teriakan-teriakan  keras
para penonton Fretilin lainnya yang begitu riang bergabung
dengan teman-teman biadab mereka dan orang-orang baru yang
dibawa  sebelumnya  oleh Afonso Redentor  untuk  melakukan
tugas biadab, penyiksaan-penyiksaan tak berperikemanusiaan 
kepada kami.

     Dalam keadaan tak sadar dan frustrasi kami diseret ke
penjara  dan ditumpuk di sana seolah-olah kami hewan  yang
sudah  mati.  Luka-luka oleh cambuk,  popor  senapan,  dan
sepatu pun bertambah di sekujur tubuh kami. Setelah sampai
Aileu,   tubuh  kami  penuh  dengan  darah.  Tanpa   suatu
pengobatan,  makanan  atau air, kami  tergeletak  di  atas
lantai,  merintih  kesakitan. Para tawanan  lama  berusaha
menghibur kami dengan kata-kata untuk memberikan  semangat 
dan  dorongan.  Betapa baiknya  teman-teman  senasib  ini.
Mereka  menggunakan baju mereka untuk  membersihkan  luka-
luka kami dan memijat kepala kami yang membengkak,  dengan
mengatakan: "Kemari, teman, itu sudah berlalu, besok  anda
akan lebih baik.... mereka tidak akan memukul anda  lagi".
Melalui renungan malam dan nyayian gereja dalam  keagungan
Tuhan, nyanyian-nyanyian yang ditujukan kepada Bunda Maria
merupakan obat terbaik yang kami dapatkan malam itu.

     Pada  pagi berikutnya, 10 Oktober 1975, jam  7  pagi,
pintu gerbang penjara dibuka untuk memberikan jalan kepada
sekelompok  kecil Fretilin bersenjata, yang  memukul  kami
pada saat kedatangan kami, yang menyuruh kami berdiri  dan
mengikuti  mereka  ke luar. Kami berjalan  ke  sebuah  pos
pengobatan,  dimana  kami  dengan  cepat  diobati.   Dalam
perjalanan,  banayak  orang sipil berusaha  memukul  kami.
Kami didampingi oleh para penjaga, namun kami tidak  dapat
mendengar semua sumpah serapah mereka. Di pos  pengobatan,
luka-luka  yang  berat diperban,  luka-luka  kecil  karena
cambuk   hanya  dibersihkan  dengan  kain  yang   dibasahi
alkohol.  Setelah itu para penjaga membawa kami ke  sebuah
ladang  di Aisirimou dimana teman-teman kami sedang  sibuk
bekerja.  Sekop  dan beliung diberikan kepada  kami  untuk
menandai   sebidang  lahan  dimana  kami   dipaksa   untuk
berkeliling pada hari itu. Setiap gerakan menyebabkan rasa
sakit   luar  biasa  karena   kebrutalan-kebrutalan   hari
sebelumnya.   Di  bawah  sengatan  matahari  tropis   yang
membakar, kami terus bekerja melaksanakan tugas hari itu.

     Sekitar   tengah  hari,  kami  digiring  kembali   ke
penjara,  yang  pintu-pintu  dan  jendelanya  sudah  dicat
Fretilin  dengan warna hijau. Kami diberi sepotong  jagung
rebus  kotor dan masam, tanpa lainnya. Namun  karena  kami
lapar sekali, kami lahap potongan kecil itu dalam beberapa
detik.  Makanan  itu  menyebabkan perut  saya  sakit  luar
biasa,  karena saya tidak makan selama 36 jam  sebelumnya.
Untuk  menambah  penderitaan kami, Fretilin  memaksa  kami
makan dekat drum-drum yang berfungsi sebagai toilet.

     Pada  permulaannya,  setelah kerja  keras  di  ladang
Aisirimou  dari pagi hingga petang, kami diberi  dua  kali
makan   sehari,  namun,  ketika  berita  terdengar   bahwa
pasukan-pasukan  gabungan  bergerak dari  Batugade,  jatuh
diturunkan  menjadi  satu  kali makan  sehari,  dan  porsi
semakin  hari semakin sedikit. Sering sekali,  kami  hanya
diberi  segelas kecil kopi selama  berhari-hari.  Beberapa
teman kami, berkat kemampuannya atau karena beberaoa orang
Fretilin  yang  lebih manusiawi,  menyembunyikan  beberapa
potong  ubi  jalar,  tapioka  atau  umbi-umbi  yang   bisa
dimakan. Mereka tidak akan makan sebelum menawarkan kepada
teman-teman mereka untuk berbagi sekedar pengganjal  perut
ini.  Terhadap  tawaran ini sedikit atau tak  seorang  pun
yang  menerimanya,  dengan mengatakan  kami  sudah  makan,
sehingga dengan kebohongan yang baik ini, teman-teman kami
dapat   menikmati  potongan-potongan   kecil   umbi-umbian
tersebut.  Saya  tidak pernah berpikir  bahwa  rasa  lapar
begitu kejam.

     Di  Aileu inilah kami kembali  melakukan  serangkaian
do'a  tiga kali sehari sebagaimana kami lakukan  di  Same.
Do'a-do'a tersebut memberi kami stamina dan dorongan lebih
besar   untuk   menahan   kesengsaraan-kesengsaraan   yang
diciptakan oleh Fetilin.


Ketika  pasukan-pasukan kami merangsek ke arah  Dili,
siksaan  kami meningkat setiap hari. Kami  menjadi  subyek
untuk  berbaris  di  tempat terbuka pada  malam  hari  dan
selama siang hari yang sangat menyengat. Dalam  peristiwa-
peristiwa  tersebut orang-orang Fretilin biasa  memisahkan
kami menjadi kelompok-kelompok lima dan sepuluh orang  dan
kemudian  secara brutal memukuli kami.  Untuk  memperburuk
penderitaan  kami mereka  membentuk  pengadilan-pengadilan
boneka  untuk  memungkinkan  mereka  membuat   pertanyaan-
pertanyaan bodoh dan terhadap jawaban-jawaban negatif kami
mereka  mendapatkan  kebebasan untuk memukul  kami  dengan
kegilaan mereka biasanya.


    Kami hidup dalam teror hingga 7 Desember '75, tanggal
ketika  kami  berhenti  pergi ke  ladang.  Namun  siksaan-
siksaan kami tidak berhenti di sini.

     Untuk memberikan sekuensi (rangkaian urut)  kesaksian
Bapak  Moniz  Maia dan Bapak Januario  de  Carvloho,  kami
menghentikan  kesaksian yang terdahulu, dan di  sini  kami
menulis kesaksian Bapak Januario De Carvalho.



TTD

Moniz Maia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar